Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengertian Pendidikan Karakter

Pengertian Pendidikan Karakter

Pengertian karakter secara etimologis, kata karakter berasal dari bahasa Latin kharakter atau bahasa Yunani kharassein yang berarti memberi tanda (to mark), atau bahasa Prancis carakter, yang berarti membuat tajam atau membuat dalam.[1] Dalam bahasa Inggris character, memiliki arti: watak, karakter, sifat, dan peran. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari pada yang lain.

Secara terminologis, para ahli mendefinisikan karakter dengan redaksi yang berbeda-beda. Endang Sumantri menyatakan, karakter ialah suatu kualitas positif yang dimiliki seseorang sehingga membuatnya menarik dan atraktif; seseorang yang unusual atau memiliki kepribadian eksentrik.” Doni Koesoema memahami karakter sama dengan kepribadian, yaitu ciri atau karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil.”

Ki Hadjar Dewantara memandang karakter itu sebagai watak atau budi pekerti. Dengan adanya budi pekerti, manusia akan menjadi pribadi yang merdeka sekaligus berkepribadian, dan dapat mengendalikan diri sendiri. Pendidikan dikatakan optimal, jika tabiat luhur lebih menonjol dalam diri anak didik ketimbang tabiat jahat. Manusia berkarakter tersebut sebagai sosok yang beradab, sosok yang menjadi ancangan sejati Pendidikan. Oleh karena itu, keberhasilan Pendidikan yang sejati ialah menghasilkan manusia yang beradab bukan mereka yang cerdas secara kognitif dan psikomotorik tapi miskin karakter atau budi pekerti luhur.

Pendidikan karakter merupakan pendidikan ihwal karakter, atau pendidikan yang mengajarkan hakikat karakter dalam ketiga ranah, yaitu cipta, rasa, dan karsa. Berikut adalah makna pendidikan karakter.

1. Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang mendukung perkembangan sosial, emosional, dan etis siswa).” Merujuk pada definisi di atas, pendidikan karakter pada prinsipnya adalah upaya untuk menumbuhkan kepekaan dan tanggung jawab sosial, membangun kecerdasan emosional, dan mewujudkan siswa yang memiliki etika tinggi. Sedari kecil, orangtua kita telah melaksanakan pendidikan karakter (yang waktu itu belum dilabelisasi sebagai penanaman karakter) yang menyangkut pendidikan sosial, emosional, dan etika.

2. Dirjen Dikti menyatakan, “Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, mewujudkan, dan menebar kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepentuh hati.

Menurut Suyanto, setidaknya terdapat Sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal. Kesembilan karakter tersebut hendaknya menjadi dasar Pendidikan karakter sejak kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age). Kesembilan pilar tersebut sebagai berikut:

1. Cinta kepada Allah dan segenap isi-Nya

2. Kemandirian dan tanggung jawab

3. Kejujuran/amanah

4. Hormat dan santun

5. Dermawan, suka menolong, dan santun

6. Percaya diri, pekerja keras, dan pantang menyerah

7. Kepemimpinan dan keadilan

8. Baik dan rendah hati

9. Toleransi, cinta damai, dan persatuan.

B. Urgensi Pendidikan Karakter

Kata urgen dimaknai sebagai sebuah kemendesakkan. Mendesak artinya segera untuk diatasi, segera dilaksanakan, dan jika tidak akan ada potensi yang membahayakan. Sesuatu dikatakan mendesak karena ada tanda-tanda yang mengharuskan suatu tindakan dilaksanakan, dapat pula waktunya sangat mepet sehingga harus sesegera mungkin. Mengapa pendidikan karakter mendesak untuk dilaksanakan.

Ada gejala-gejala yang menandakan tergerusnya karakter bangsa ini. Tanda-tanda merosotnya karakter bangsa ini, senyampang apa yang dinyatakan Thomas Liekona tentang sepuluh tanda zaman yang kini terjadi, yakni sebagai berikut:

1. Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja masyarakat. Kekerasan di kalangan remaja dan masyarakat akhir-akhir ini memang meningkat. Tawuran antarpelajar, bahkan antar mahasiswa yang Sejatinya merupakan para calon intelektual terjadi di mana-mana, Kasus tertentu yang dihakimi sendiri menjadi fenomena yang banyak kita temui di masyarakat.

2. Penggunaan bahasa dan kata kata yang tidak baku. Kata dan bahasa yang tidak baku menjadi fenomena di tengah masyarakat. Pengunaan bahasa prokem yang mra historis berai dari komunitas tertentu menjamur di mana-mana. Semisal, “Titi DJ" (hati-hati-hati di jalan) dan sejenisnya bahkan sempat dikamuskan. Belakangan muncul bahasa day yang kehadirannya dipicu oleh pola komunikasi dengan SMS yang memiliki keterbatasan karakter.

3. Pengaruh peer-group (geng) dalam tindak kekerasan menguat. Kemunculan geng (terutama anak sma) di kota-kota muncul dalam kelompok geng-geng motor.

4. Meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alcohol, dan seks bebas.  

5. Semakin kaburnya pedoman moral bank dan buruk. Moral kini dalam bayang-bayang sudut pandang relatif. Baik dan buruk bergantung pada siapa dan apa sudut pandangnya. Hal ini sejatinya tidak boleh terjadi karena sesungguhnya baik dan buruk itu sifatnya pasti dan diatur dalam berbagai agama.

6. Etos kerja yang menurun. Etos kerja yang dipicu oleh spirit yang lemah, artinya pemahaman sebagai bentuk ibadah tidak dihayati.

7. Semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru. Rendahnya hormat pada orangtua dan guru disebabkan oleh banyak faktor:

gagalnya orangtua sebagai figur bagi anak-anaknya.

lingkungan yang tidak kondusif.

pemahaman agama yang dangkal.

pola asuh anak yang salah.

8. Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan kelompok. Perilaku tidak tanggung jawab terjadi di mana-mana, membuang sampah sembarangan, bahkan membunuh bayi hasil hubungan gelap, merokok di sembarang tempat, dan lain-lain. Tanggung jawab rendah karena ketiadaan sanksi yang tegas dari penegak hukum dan sanksi moral dari masyarakat.

9. Budaya kebohongan/ketidakjujuran. Korupsi, kolusi, dan nepotisme berawal dari ketidak jujuran. Bahkan, di dunia pendidikan, ancaman budaya tidak jujur merebak ketika guru-guru dan siswa berkonspirasi dalam Ujian Nasional.

10. Adanya rasa saling curiga dan kebencian antar-sesama. Curiga dan kebencian berawal dari clash of ignorance (benturan karena ketidakpedulian). Kasus konflik antargolongan, saling truth claim dalam berbagai persoalan bersumber pada ketidak pedulian tersebut. Dalam kondisi seperti ini, yang dibutuhkan tidak sekadar bagaimana bertoleransi, tetapi bagaimana membangun komunikasi antarelemen masyarakat.


Posting Komentar untuk "Pengertian Pendidikan Karakter"