MODEL STUDY ALQUR’AN KONTEMPOER MAKALAH
MODEL STUDY ALQUR’AN KONTEMPOER
MAKALAH
Dosen pembimbing:
Muhammad Husni Thamrin, MA.
Oleh:
Muhammad Hasan Fathul Munir
Muhammad Hadi Darmawan
FAKULTAS TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM SYARIFUDDIN
WONOREJO - LUMAJANG
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Tiada kata yang dapat kami ucapkan pada saat ini, kecuali rasa syukur kita kepada Ilahi Rabbi yang telah menciptakan langit dan bumi, cinta dan hati. Dialah Allah yang Maha tinggi dan Maha suci. Shalawat beserta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW, pemuda dambaan hati, gagah berani, dan berjihad di jalan Ilahi Rabbi. Kami bersyukur kepada Allah yang telah memberikan maunah dan taufikNya kepada kami sehingga makalah yang berjudul “ Metode Studi Al- Qur’an Di Era Kontemporer ” dapat terselesaikan tepat waktu.
Rasa terimakasih kami haturkan kepada dosen pengampu kami yaitu bapak Thoriqus Su’ud, yang tak bosan-bosannya membimbing kami, memberikan pengarahan, serta berbagai kritik dan saran terhadap makalah yang kami buat. Kami patut bersyukur karena berkaca dari kesalahan-kesalahan kami, kelak kan menjadikan kami lebih maju dan lebih baik. Terimakasih kepada segenap para penulis yang sudah merelakan dan meluangkan waktu,tenaga, pikiran serta materi demi tersajinya makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah. Terimakasih kepada orang-orang tua kami yang tak henti-hentinya berdo’a untuk anakmu yang dhoif ini serta bejerih payah dalam menafkahi kami, sehingga kami dapat melangkahkan kaki di IAIN Ini demi menjelajahi ilmu Tuhan serta menggapai cita-cita yang semoga nantinya dapat mengubah kita menjadi orang yang lebih berilmu dan bermanfaat. Tak lupa pula kepada segenap orang-orang yang ada disekitar kami yang turut membantu dalam menyelesaikan makalah ini baik bantuan secara materi maupun moril. Semoga kelak memetik buahnya di ahirat nanti. Amien.
Dalam makalah ini kami akan menjelaskan tentang pengertian dan penjelasan studi Al-Qur’an di era kontemporer, tafsir sastra beserta metode tafsir dan tentang hermeneutik. Dari pembahasan-pembahasan tersebut kami berharap dapat menjelaskan sesuai judul dalam makalah ini. Dan makalah ini dibuat agar dapat memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Studi islam (PSI), juga diharapkan para pembaca dapat memahami tentang hal-hal yang berkaitan dengan judul makalah ini. Sehingga dapat menambah ilmu pengetahuan , mengembangkan wawasan, dan dapat memahami masalah-masalah yang berhubungan dengan judul makalah ini.
“Tiada gading yang tak retak” itulah pepatah yang pantas untuk makalah ini karena kami menyadari bahwa dalam makalah kami masih terdapat kekurangan dan banyak kekhilafan. Oleh karena itu, kepada para pembaca kami mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan makalah ini.
Kepada pihak-pihak yang telah bekerja sama sehingga makalah ini terselesaikan, kami ucapkan banyak terimakasih. Semoga makalah ini menjadi benar-benar bermanfaat bagi para pembaca. Amien.
Lumajang, 16 april 2022
Daftar isi
Cover……………………………………………………………………………………………… i
Kata pengantar…………………………………………………………………………………… ii
Daftar isi………………………………………………………………………………………… iii
Bab I Pendahuluan……………………………………………………………………………… 4
Latar Belakang……………………………………………………………………. 4
Rumusan Masalah………………………………………………………………… 4
Tujuan……………………………………………………………………………… 4
Bab II pembahasan……………………………………………………………………………. 5
A. Pengertian dan penjelasan studi Al-Qur’an……………………………………………. 5
B. Tafsir sastra dan metode untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an……………………….. 5
C. Hermeneutik…………………………………………………………………………….. 11
Bab III penutup………………………………………………………………………………. 15
A. Kesimpulan………………………………………………………………………………. 15
Daftar pustaka………………………………………………………………………………… 16
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Al-Quran datang ke hadapan kaum Arab kala itu dengan format yang tidak pernah mereka kenal sebelumnya serta keindahan gaya bahasa yang tak tertandingi oleh para tokoh dan pakar bahasa waktu itu. Kitab suci ini telah menantang para pujangga dan tokoh-tokoh penyair Arab untuk membuat tandingan bagi Al-Quran, mulai dari yang terberat ataupun membuat satu saja:
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ .(38)
Atau (patutkah) mereka mengatakan: "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah: "(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar."(Q.S. Yunus : 38),
Al-Quran adalah sumber ajaran Islam. Laksana samudera yang keajaiban dan keunikannya tidak pernah sirna di telan masa, sehingga lahirlah bermacam-macam tafisr dengan metode yang beraneka ragam. Para ulama telah menulis dan mempersembahkan karya-karya mereka dibidang tafsir ini, dan menjelaskan metode-metode yang digunakan oleh masing-masing tokoh penafsir, di samping itu dalam pembelajaran mengenai studi Al-Qur’an juga terdapat tafsir sastra dan hermeneutik.
Banyak cara pendekatan dan corak tafsir yang mengandalkan nalar, sehingga akan sangat luas pembahasan apabila kita bermaksud menelusurinya satu demi satu. Dalam makalah kami ini akan menerangkan dan memaparkan mengenai arti dan penjelsan studi Al-Qur’an, tafsir sastra, metode untuk tafsir al-qur’an dan tentang hermeneutik.
B. Rumusan masalah:
1. Apa pengertian Al-Qur’an?
2. Bagaimana model tafsir sastra dan metode tafsir Al-Qur’an?
3. Apa pengertian hermeneutik dan penjelasan hermeneutik?
C.Tujuan masalah:
1. Untuk mengetahui pengertian dan penjelasan Al-Qur’an.
2. Untuk mengetahui bagaimana model tafsir sastra dan metode tafsir lain al-qur’an.
3. Untuk mengetahui arti dan penjelasan hermeneutik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.PENGERTIAN DAN PENJELASAN STUDI AL-QUR’AN
Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. Melalui perantara malaikat jibril dan bernilai ibadah bagi yang membacanya. Al-Qur’an merupakan sumber utama bagi umat islam dalam mengarungi kehidupan ini sesuai dengan aturan Allah. Al-Quran merupakan mukjizat terbesar nabi Muhammad SAW. Sepanjang masa. Al-Quran adalah kitab suci umat islam yang dijadikan pedoman dalam hidupnya.1[1] Al Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw sebagai sumber dari segala hal yang berhubungan dengan Agama Islam, yang berkaitan dengan masalah tersebut meliputi Al-Qur’an sebagai sumber Islam, ilmu- ilmu Al-Qur’an, metode dan corak penafsiran serta model penelitian Al-qur’an. Kajian tentang metodologistudi Al-Qur’an merupakan salah satu yang juga menjadi perhatian para ulama’ yang akan mengkaji tentang keislaman. Al-Qur’an adalah kitab suci yang menjadi bacaan bagi manusia untuk memperoleh petunjuk Allah SWT. Berfungsi sebagai Al-Huda, Al-Furqon, Asy-Syifa’ dan Mauidhoh bagi orang yang beriman.
Esensi Al Qur’an,adalah sebagai petunjuk atau pedoman hidup sekaligus penjelas bagi manusia disampaikan melalui Rosulullah saw. Dengan bahasa yang dapat dipahami oleh manusia. Manusia yang dimaksud adalah semua umat di bawah kerasulan Nabi Muhammad, kapan,dan dimanapun mereka berada, Al-Qur,an bersifat universal, tidak berfungsi untuk kelompok, atau generasi tertentu pada zaman dan tempat tertentu.Ia adalah kebenaran hakiki, keberadaan dan fungsi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Allah akan menjamin dan menjaganya sebagimana yang terkandung di dalamnya.
B.TAFSIR SASTRA DAN METODE UNTUK MENAFSIRKAN AL-QUR’AN
Salah satu keunikan Al-Qur’an adalah adanya pengulangan kata di beberapa ayatnya. Para ulama banyak yang membicarakan keunikan ini serta menghubungkannya dengan studi tematik modern..Muhammad Quthub misalnya, menegaskan sisi dengan tantangan tersebut dengan berbagai gaya bahasa. Yang lebih unik adalah bahwa terdapat pengulangan dalam satu surat yang mencapai 31 kali seperti yang terdapat pada surat Ar-Rahman. Dalam melakukan studi tentang pengulangan yang ada dalam Al-Qur’an, Muhammad Quthub mencontohkan , ibarat mengenal seseorang yang tidak mungkin dengan cara mengetahuinya sepotong-sepotong dari beberapa cirri fisiknya, tetapi harus secara menyeluruh yang meliputi mata,hidung, telinga dan lain sebagainya. Hal itulah, menurut Muhammad Quthub yang disebut sebagai suatu keutuhan.
Selain Muhammad quthub adalah Muhammad al-hijazi yang juga membahas pengulangan dalam Al-Quran. Dalam bukunya al-wahdah al-maudhu’iyyah fi al-qur’an al-karim, ia mengatakan bahwa pengulangan itu terjadi dalam bentuk dan corak yang berbeda sesuai dengan kondisi, lingkungan dan waktu diturunkannaya. Surat-surat makiyyah misalnya berbeda dengan surat-surat madaniyyah. Kesatuan tema inilah yang kemudian memunculkan sebuah aliran penafsiran yang disebut dengan corak tafsir tematik.
Dalam perkembangan berikutnya, muncul metode penafsiran bercorak sastra yang di prakarsai oleh Muhammad Abduh. Metode ini merupakan metode modern yang menggunakan model pembacaan terhadap berbagai masalah sosial yang berkembang di masyarakat dan diintegrasikan dengan sentuhan-sentuhan sastra. Kelemahan yang di temukan pada metode ini pada awal kemunculannya adalah dari sisi balaghah dalam beberapa kajiannaya. Beberapa kajian yang telah dilakukan lebih banyak merujuk pada karya-karya klasik yang ditulis oleh ulama pada abad ke-4 sampai abad ke-8. Kelemahan ini kemudian menjadi motivator bagi bintu al-Syati’ untuk mengembangkan kajian tematik bahasa sastra dalam tafsir. Salah satu karyanya adalah al-tafsir al-bayani li al-Qur’an al-karim.
Metode tafsir sastra tematik bintu al-Shati’ ini dipengaruhi oleh gaya gurunya yang juga merupakan pendamping hidupnya, yaitu Amin al-Khauli. Secara garis besar metode kajian sastra tematiknya dapat disimpulkan dalam empat pokok pikiran:
Pertama, mengumpulkan unsur-unsur tematik secara keseluruhan yang ada di beberapa surat untuk dipelajari secara tematik. Mula-mula ia menggambarkan ruh sastra tematik secara umum, kemudian merincinya per-ayat. Akan tetapi perincian ini berbeda dengan perincian yang digunakan dalam kajian tafsir tahlili (analitik) yang cenderung menggunakan maqta’ (pemberhentian tematik dalam satu surat). Di sini ia membuka dengan kupasan bahasa dalam ayat itu kemudian dibandingkan dengan berbagai ayat yang memiliki kesamaan gaya bahasa . kadang menyebut jumlah kata. Adakalanya memberikan kesamaan dan perbedaan dalam penggunaannya. Terakhir ia simpulkan korelasi antara gaya bahasa tersebut.
Kedua, memahami beberapa hal di sekitar nash yang ada. Seperti mengkaji ayat sesuai dengan kondisi diturunkannya. Untuk mengetahui kondisi waktu dan lingkungan diturunkannya ayat-ayat al-qur’an pada waktu itu dikorelasikan dengan studi asbab al-nuzul, meskipun ia tetap menegaskan kaidah al-ibrah bi ‘umum al-lafz la bi khusus al-sabab (kesimpulan yang diambil menggunakan keumuman lafaz bukan dengan kekhususan sebab-sebab diturunkannya sebuah ayat).
Ketiga, memahami dalalah al-lafz. Maksudnya indikasi makna yang terkandung dalam lafaz-lafaz al-qur’an , apakah dipahami sebagaimana dzahirnya ataukah mengandung arti majaz (kiasan) dengan berbagai macam klasifikasinya, kemudian dipahami melalui siyaq khas (hubungan –hubungan kalimat khusus) dalam satu surat dan dikorelasikan dengan siyaq ‘am (hubungan kalimat secara umum) dalam Al-Qur’an.
Keempat, memahami rahasia ta’bir dalam Al-Qur’an. Hal ini sebagai klimaks dari kajian sastra yang dilakukan dengan cara mengungkap keindahan, pemilihan kata, beberapa penakwilan yang ada di beberapa kitab tafsir yang mu’tamad, tanpa mengesampingkan posisi gramatikal arab(i’rab) dan kajian balaghah.
Sastra tematik yang di maksudkan disini adalah corak tafsir modern yang menganut madzhab dan aliran tematik umum (maudhu’I ‘am). Pengkajiannya di khususkan pada pembahasan sastra bahasa dalam satu surat. Ia tidak mengambil seluruh surat dalam Al-Qur’an , tetapi beberapa surat pendek saja, yaitu tujuh surat pendek juz ‘amma pada buku pertama; Ad-Dhuha, Al-Insyirah, Az-Zalzalah, Al-‘Adiyat, Al-Nazi’at, Al-Balad dan At-Takatsur. Tujuh surat pendek lainnya pada buku kedua ; Al-‘Alaq, Al-Qalam, Al-‘Ashr, Al-Lail, Al-Fajr, Al-Humazah dan Al-Ma’un.
Sebagai perbandingan Muhammad Quthub juga mengkaji secara tematik umum persurat dengan klasifikasi makki dan madani serta klasifikasi masing-masing keduanya. Dengan satu titik sentral; kajian tematik akidah, karena menurut Muhammad Quthub, tema besar al-qur’an adalah pemurnian akidah. Setelah mengupas beberapa aspek penting dalam tema besar yang ingin disampaikan , ia menafsirkannya secara tematik dalam beberapa sampel surat. Tiga surat makiyyah;Ar-Ra’ad, Luqman dan Fatir, serta tiga surat madaniyyah; Al-Baqarah , Ali ‘Imron dan An-Nisa’.
Rujukan utama dalam buku ini, bintu al-Shati’ merujuk kepada pendapat al-Zamakhsari dalam bukunya al-kasyaf dan Abu Hayyan dalam tafsirnya al-bahr al-muhit. Dalam mukaddimahnya, secara metodologis ia mengikuti sang guru dan suaminya , yaitu Amin Khuli serta mengadopsi beberapa gaya Mustafa Shadiq al-Rafi’i. lebih rincinya, ia tulis penjelasan ini dalam mukaddimah bukunya al-ijaz al-bayani.
Salah satu contoh tafsir sastra tematik bintu al-shati’ adalah surat Az-Zalzalah, yang dibuka dengan tema umum; alyaum al-akhir, kemudian ia mengklasifikasinya sebagai awal-awal surat madaniyyah, yaitu berada pada urutan keenam. Surat madaniyyah seperti ini justru menekankan aspek akidah dan iman pada hari akhir. Memberikan gambaran sebaliknya, surat-surat makiyyah bukan berarti tidak memuat tasyri’ dan penjelasan hukum.
Dalam hal ini penakwilan fa’il (subyek) tidak dibenarkan, karena sudah jelas, yaitu Allah. Pesan yang disampaikan kepada manusia bahwa bumi yang sedang dihuni saat ini memiliki potensi bergoncang kapan saja. Goncangan yang berbeda-beda bahkan bisa berakibat pada kehancuran yang berakhir dengan kefanaan. Setelah itu, bint al-Syathi’ merincinya tiap ayat dari sejak penyebutan arti bahasa, pemilihan kata zalzalah (baik kata zulzilat maupun kata zilzalaha), kemudian pengungkapan dalam bentuk madli yang berarti kepastian dan penggunaan kata syarat idza (apabila).
Pada ayat selanjutnya ia menguraikan penggunaan kata aktif akhrajat (mengeluarkan) dan bumi sebagai pelakunya. Ini merupakan jenis kiasan. Setelah itu merinci penafsiran ‘atsqal (beban-beban berat yang dikandung bumi). Pada ayat selanjutnya, titik tekannya adalah keheranan manusia, baik yng beriman maupun yang kafir meskipun sebagian mufassirin ada yang berpendapat orang kafir saja. Disini ia memilih pendapat pertama karena tidak ada dalil yang mengkhususkan keumuman ayat ini. Pertanyaan ini pun langsung dijawab pada ayat selanjutnya. Ia juga sedikit menyitir pendapat para ahli tafsir tentang penceritaan bumi. Sebagian tetap menjadikannya ungkapan kiasan, sebagian lagi berpedapat sebaliknya, bahwa memang benar-benar pada hari itu bumi bisa berbicara.
Dalam kesempatan ini ia menyebutkan pendapat beberapa mufassir, diantaranya; al-Thabari, al-Zamakhsyari, Abu Hayyan dan al-Thabarsyi. Pertanyaan-pertanyaan yang memungkinkan akan timbul pun ditimpali dengan ayat selanjutnya, bahwa ini semata adalah titah pencipta manusia, Tuhan yang mengutus Muhammad pada kaumnya dan seluruh manusia setelahnya. Dalam ayat ini agak panjang lebar berbicara masalah wahyu.
Pesan penting berikutnya adalah penggunaan kata yawma idzin (pada hari itu). Untuk menunjukkan posisi dan keberadaan manusia setelah terpendam di alam kubur dan di bangkitkan kemudian. Ini adalah bagian penggambaran penokohan dan seting, seolah-olah pembaca dan pendengarnya berada di depan sebuah film dan pertunjukkan yang benar-benar nyata. Ia juga mengungkap rahasia pengungkapan kata yashdur (keluar) bukan dengan sinonim lainnya yakhruj atau yansharif.
Lebih jelas lagi setelah ada penjelasan bagaimana cara keluarnya manusia dari kuburnya yang bermacam-macam, berbeda-beda, berpisah-pisah dan berpencar-pencar. Keduanya ia pakai bermacam-macam dan berbeda sesuai sesuai amal dan perbuatannya selama di dunia. Sedang berpencar dan berpisah-pisah, dikarenakan kondisi yang demikian mencekam, menanti sebuah pengadilan agung yang sangat menentukan nasib mereka. Adapun balasan bagi mereka setelah itu adalah seperti yang telah dijelaskan pada dua ayat penutup, di mana kedua ayat ini memiliki muqabalah (perbandingan) yang jelas sekaligus menunjukkan keindahan gaya bahasa. Ia juga menggunakan kata mitsqala dzarrah. Di samping menyebutkan perbedaan mazhab dalam memahami ayat ini, baik dari para mutakallimin maupun kelompok yang ada, juga mengemukakan pendapat al-Zamakhshari sebagai contoh untuk mewakili pemikiran mu’tazilah. Abu Hayyan mewakili Zahiriyyah, al-Tabarshi mewakili Syi’ah. Polemik ini muncul pada saat ada pertanyaan, kebaikan yang dilakukan oleh orang kafir yang dibalas dengan tuduhan kufur, sebanyak apapun kebaikan itu. Ia juga mengemukakan pendapat Muhammad Abduh, salah seorang tokoh yang dikaguminya.
Pada akhirnya, penafsirannya ditutup dengan pernyataan bahwa hanya Allahlah yang berhak menentukan balasan ini. Dia member ampun kepda siapa yang kehendaki-Nya dan memberi azab kepada siapapun yang dikehendaki-Nya. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 48: 14).
Untuk mempelajari isi kandungan ayat Al-Qur’an, kita memerlukan ilmu tafsir. selain menggunakan cara tafsir sastra yang telah diuraikan diatas, berikut ini ada metode-metode untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an:
1. Al-Tafsir al-Tahlily (metode Analisis)
a. Al-Tafsir bi al-Ma’tsur
b. Al-Tafsir bi al-Ra’yi (bercorak Rasional)
c. Al-Tafsir al-Shufi (bercorak Taswauf)
d. Al-Tafsir al-Fiqhi (bercorak Fikih)
e. Al-Tafsir al-Falsafi (bercorak Filsafat / Falsafat)
f. Al-Tafsir al-Ilmi (bercorak Science)
g. Al-Tafsir al-Adab al-Ijtima’I ( bercorak Sosial)
2. Al-Tafsir al-Ijmaly ( Metode Global)
3. Al-Tafsir al-Muqaran ( Metode Komparatif)
4. Al-Tafsir Maudhu’iy (Metode Tematik)
Dari metode-metode yang digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an diatas, yang akan dibahas dalam makalah ini hanyalah sebagian saja, diantaranya :
Al-Tafsir al-Shufi (bercorak Tasawuf)
Ketika ilmu-ilmu agama dan science mengalami kemajuan pesat serta kebudayaan Islam tersebar ke seluruh pelosok dunia dan mengalami kebangkitan dalam segala seginya, maka berkembanglah ilmu tasawuf .
Al-Tafsir al-Shufi dibagi menjadi dua bentuk, yaitu:
Tasawuf Teoritis, yaitu para penganut aliran ini mencoba meneliti dan mengkaji al-Qur’an berdasarkan teori-teori madzhab dan sesuai dengan ajaran mereka. Kalangan tokoh-tokoh tasawuf mencurahkan waktunya untuk meneliti, mengkaji, memahami, dan mendalami Al-Qur’an dengan sudut pandang sesuai dengan teori-teori tasawuf mereka. Penafsir ini tampak berlebih-lebihan dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an, dan tafsirannya sering keluar dari arti dhahir yang dimaksud syara’ yang didukung oleh kajian bahasa.Mereka menta`wilkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan tidak mengikuti cara-cara untuk menta`wilkan ayat Al-Qur’an dan menjelaskannya dengan penjelasan yang menyimpang dari pengertian tekstual yang telah dikenal dan didukung oleh dalil syar`iy, serta terbukti kebenarannya dalam bahasa Arab, yaitu dalam bab perihal isyarat. Imam Al-Alausy dalam kitab tafsirnya mengemukakan sebagai berikut: “ Apa yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh Shufi tentang al-Qur’an adalah termasuk kedalam bab isyarat terhadap pengertian–pengertian rumit yang berhasil diungkapkan oleh orang-orang yang menguasai cara yang harus ditempuh untuk sampai kepada Allah dan pengertian-pengertian itu dapat dipadukan dengan pengertian-pengertian tekstual yang dikehendaki. Hal ini termasuk kesempurnaan iman dan pengetahuan yang sejati. Mereka berkeyakinan bahwa pengertian tekstual bukanlah yang dikehendaki. Karena keyakinan aliran Bathiniyyah yang ekstrim, maka mereka sampai menafikan syari`at secara keseluruhan. Tokoh-tokoh sufi kita tidaklah bersikap demikian, oleh karena itu mereka menganjurkan agar tetap dipelihara penafsiran dan pengertian batin dari suatu ayat sebelum penafsiran, dan pengertian tekstualnya terlebih dahulu diketahui. Al-Zahabi mengatakan kitab tafsir yang bercorak tasawuf teoritis hanyalah penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an secara acak dan parsial yang dinisbatkan kepada Ibn Arabi dan yang terdapat di dalam kedua kitabnya, al-Futuhat al-Makkiyyah dan al-Fushush, serta di dalam kitab tafsir yang bercorak beraneka ragam
b. Tasawuf Praktis, yaitu tasawuf yang mempraktekkan gaya hidup sengsara, zuhud, dan meleburkan diri dalam ketaatan kepada Allah SWT. Aliran ini menamakan tafsir mereka dengan tafsir al-isyari, yaitu menta’wil ayat-ayat, berbeda dengan arti dzahirnya, berdasarkan isyarat-isyarat tersembunyi, namun dapat dikompromikan dengan arti dzahir yang dimaksud.
Mereka berkata, Tafsir Sufi dapat diterima jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1) Tidak menafikan makna lahir/tekstual dari ayat Al-Qur’an.
2) Penafsiran itu diperkuat oleh dalil syara` yang lain.
3) Penafsiran itu tidak bertentangan denga dalil syara` atau rasio.
4) Penafsirnya tidak mengakui bahwa hanya penafsirannya itulah yang dikendaki Allah, bukan pengertian tekstualnya. Sebaliknya ia harus mengakui pengertian tekstual dari ayat Al-Qur’an yang ditafsir.
Al-Tafsir al-Fiqhi (bercorak Fikih)
Dari Tasir bi Al Ma`tsur lahirlah tafsir Fiqhi, yaitu menafsirkan Al-Qur`an dengan ijtihad dalam mencari keputusan hukum dari Al-Qur’an, dan berusaha menarik kesimpulan hukum Syari’ah berdasarkan ijtihad, terutama dari ayat-ayat yang terdapat pada surat-surat yang turun di Madinah yang berisi Syari`at Islam dengan segala cabang dan macam-macamnya, yaitu shalat, zakat, haji, puasa, nikah, thalaq, mu`amalah, dan penjelasan tentang halal dan haram.
Hukum-hukum Islam yang mereka gali (istinbbath) dari Al-Qur’an itu tersebar dari mulut ke mulut, dihafal oleh generasi berikutnya secara estafet, sampai datang era penghimpunan dan penyusunan. Pada era ini lahirlah orang-orang yang memperhatikan dan mengkaji produk-produk istinbath itu, sehingga ia berkembang dan tersebar. Dari sini timbullah madzhab-madzhab yang berbeda-beda dikalangan umat islam sehingga terjadi banyak kasus-kasus hukum. Terhadap kasus-kasus itu para ulama menyelesaikannya berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnahh, Al-Qiyas, dan sumber hukum yang lain.
Al-Tafsir al-Falsafi (bercorak Filsafat / Falsafat)
Al-Tafsir al-Falsafi dilihat dari tokoh-tokoh Islam yang mendalami kajian filsafat terbagi kepada dua:
1. Golongan yang menolak filsafat, karena mereka menemukan adanya pertentangan antara filsafat dan agama. Kelompok ini secara radikal berusaha menjauhkan umat dari kajian tersebut. Diantara kitab-kitab tafsir yang ditulis berdasarkan corak falsafi ini adalah kitab tafsir Mafatih Al-Ghaib oleh al-Fakhr al-Razi tahun 606 H.
2. Golongan yang mengagumi dan menerima filsafat, meskipun di dalamnya ditemukan ide-ide yang bertentangan dengan Nash dan Syara’. Kelompok ini berupaya mengkompromikan atau mencari titik temu antara falsafat dan agama serta berusaha menyingkirkan segala pertentangan dan hendak menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan teori-teori filsafat mereka semata, akan tetapi mereka gagal, oleh karena tidaklah mungkin nash al-Qur’an mengandung teori-teori mereka dan sama sekali tidak mendukungnya.
Al-Tafsir al-Ilmi (bercorak Science)
Al-Tafsir al-Ilmi adalah menafsirkan ayat-ayat kauniyah berdasarkan prinsip-prinsip kebahasaan dan keunikannya, dan berdasarkan bidang ilmu serta hasil kajian mereka terhadap gejala atau fenomena alam. Para ulama telah memperbincangkan kaitan antara ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam al-Qur’an dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern yang timbul pada masa sekarang, sejauh mana paradigma-paradigma ilmiah itu memberikan dukungan dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an dan penggalian berbagai jenis ilmu pengetahuan, teori-teori baru dan hal-hal yang ditemukan setelah lewat masa turunnya Al-Qur’an, yaitu hukum-hukum alam, astronomi, kimia, dan penemuan-penemuan lain yang dengannya dapat dikembangkan ilmu-ilmu lain, seperti kedokteran, zoology, botani, geografi dan lainnya.
Sikap para ulama terhadap tafsir `Ilmy dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a) Sebagian dari mereka yang mendukung tafsir `Ilmy dan bersifat terbuka, sehingga mereka menjadikan Al-Qur’an sebagi mu`jizat ilmiah, oleh karena itu ia mencakup segala macam penemuan teori-teori ilmia modern. Pendapat mereka ini didasarkan atas firman Allah (Q.S. 6:38), sebagai berikut:
مَا فَرَّطْنَ فِى الْكِتَابِ مِنْ شَيْئٍ…..
“ Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al-Kitab (Al-Qur`an)”.
b) Sebagian yang lain menolak tafsir `Ilmy. Mereka tidak melangkah jauh untuk memberikan makna-makna yang tidak dikandung dan dimungkinkan oleh ayat dan menghadapkan Al-Qur’an kepada teori-teori ilmiah yang jelas-jelas terbukti tidak benar setelah berpuluh-puluh tahun, oleh karena teori-teori itu bersifat relatif. Mereka berpendapat tidak perlu masuk terlalu jauh dalam memahami dan menginterpretasikan ayat-ayat Al-Qur’an dengan kebenaran-kebenaran ilmiah dan teori-teori itu, tetapi sebaliknya kita harus menempuh cara yang mudah dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengungkapkan makna-makna yang ditunjukkan oleh teks ayat.
Selain dua sikap ulama tersebut diatas, ada diantara ulama yang bersikap moderat. Mereka mengatakan:”Kita sangat perlu mengetahui cahaya-cahaya ilmu yang mengungkapkan kepada kita hikmah-hikmah dan rahasia-rahasia yang dikandung oleh ayat-ayat kauniyyah dan yang demikian itu tidak ada salahnya. Banyak hikmah didalamnya yang jika dikaji oleh orang ahli akan jelaslah rahasia-rahasianya, tampaklah cahayanya dan mampu menjelaskan rahasia kemu`jizatannya.
Di antara tafsir yang bercorak al-‘Ilmi ini adalah tafsir Mafatih al-Ghaib karya besar al-Imam al-Fakhr al-Raziy. Imam Al-Ghazaliy melalui kitabnya al- Ihya’ Ulumuddin dan Jawahir Al-Qur’an. Sedangkan As-Suyuthi melalui kitabnya al-Itqan
Al-Tafsir al-Adab al-Ijtima’i ( bercorak Sosial)
Yaitu tafsir dengan corak baru yang tidak memberi perhatian kepada segi Nahwu, bahasa, istilah-istilah Balaghah, dan perbedaan-perbedaan madzhab; sebuah tafsir yang justru menjauhkan pembaca dari inti al-Qur’an, sasaran dan tujuan akhirnya, oleh karena kenyataan menunjukkan bahwa perpustakaan-perpustakaan Islam telah dipenuhi oleh kitab-kitab tafsir yang memalingkan umat Islam dan sasaran-sasaran al-Qur’an dan makna-makna yang bernilai sangat tinggi.
Kelompok ulama yang menafsirkan Al-Qur’an dengan corak Al-Tafsir al-Adab al-Ijtima’i selain segi-segi kekurangannya, mampu mengungkapkan segi balaghah al-Qur’an dan kemu`jizatannya, menjelaskan makna-makna dan sasaran-sasaran yang dituju oleh Al-Qur’an, mengungkapkan hukum-hukum alam yang agung dan tatanan-tatanan kemasyarakatan yang dikandungnya, mampu memecahkan problematika umat Islam khusunya, dan manusia pada umumnya, dengan mengedepankan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an dan ajaran-ajaran yang dengannya dapat diperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat, memadukan antara Al-Qur’an dan teori-teori Ilmiah yang mampu mengikuti perkembangan waktu dan manusia, dan mampu menolak kesamaran, keraguan dan dugaan yang salah terhadap al-Qur’an dengan argument-argumen yang kuat yang mampu menundukkan dan menolak kebatilan, sehingga jelas bahwa al-Qur’an itu benar.
Al-Tafsir Maudlu’i (Metode Tematik)
Yang dimaksud dengan Al-Tafsir Maudhlu’i (Metode Tematik) ialah yang membahas ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab an-nuzul, kosakata dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah, baik argument itu berasal dari al-Qur’an, hadits, maupun pemikiran rasional.
Satu surah dalam Al-Qur’an sekalipun sub-sub temanya berbeda, pada hakikatnya merupakan satu tema dan mengarah kepada satu tujuan, dan sekalipun ia mengandung banyak makna dan bagian, pada hakikatnya ia merupakan satu kesatuan yang bagian-bagiannya tidak dapat dipisah-pisahkan.
C. HERMENEUTIK
1.Definisi Hermeneutika
Ada yang mengidentikkan hermeneutika dengan seni atau sains penafsiran. Ada yang mengartikan sebagai metode penafsiran, sebagian menyebut hermeneutika sebagai teknik penafsiran atau seni menafsirkan. Hermeneutika yang lahir di tanah Yunani dan secara praktis digunakan untuk sistem pendidikan mengalami perkembangan cukup signifikan melalui apa yang disebut dengan gerakan deregionalisasi, suatu gerakan yang dirintis oleh Schleiermacher.[1]
Plato memilih sebutan techne hermeneias, aristoteles menyebut “peri hermeneutick”, yang digunakan Aristoteles, dimaksudkan olehnya sebagai logika penafsiran, sementara Plato yang menggunakan istilah techne hermeneias adalah seni membuat sesuatu yang tidak jelas menjadi jelas. Paul Ricoeur mengartikan hermeneutika sebagai teori untuk mengoprasionalkan pemahaman dalam hubungannya dengan penafsiran terhadap teks.
Hermeneutika adalah satu disiplin yang berkepentingan dengan upaya memahami makna atau arti dan maksud dalam sebuah konsep pemikiran. Dalam hal tersebut, masalah apa makna sesungguhnya yang dikehendaki oleh teks belum bisa kita pahami secara jelas atau masih ada makna yang tersembunyi sehingga diperlukan penafsiran untuk menjadikan makna itu transparan, terang, jelas, dan gamblang[2].
Apa makna yang sesungguhnya dikehendaki oleh teks ? Apa ada makna yang tersembunyi di balik teks atau di balik suatu kalimat ? Apakah konsep yang terdapat dalam teks ini berkanaan dengan hukum atau politik ? Apabila kita belum mampu memahami dengan jelas terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas dan atau pertanyaan-pertanyaan lain yang relevan dengan teks, maka diperlukan penafsiran untuk menjadikan makna itu transparan, terang, jelas dan gamblang[3].
2.Fungsi Hermeneutika
Sebagai teknik untuk memperoleh pemahaman yang benar, hermeneutika berguna dan berfungsi untuk :
a.Membantu mendiskusikan bahasa yang digunakan teks.
Bahasa menjadi bagian yang tak terpisahkan dari aktifitas hermeneutika. Lingkup bahasa yang membantu hermeneutika dapat mencakup masalah bahasa, makana kata, masalah semantik, semiotik, pragmatik, masalah expression dan indikation serta masalah logika yang terkandung dalam teks.
b.Membantu mempermudah menjelaskan teks, termasuk teks kitab suci.
Membantu mengandaikan hubungan teks dengan waktu, hubungan teks dengansituasi atau lingkungan di mana teks disusun. Masalah lain adalah masalah teks dengan teks yang lain yang sudah ada dan sudah didiskusikan tema tertemtu. Masalah ini memunculkan persoalan mengenai ciri khas yang membedakan seorang pengarang dengan pengarang yang lain yang membahas tema yang sama.
c. Memberi arahan untuk masalah yang terkait dengan hukum.
Poin ini menjelaskan bahwa penafsiran terhadap teks hukum dapat dilakukan secara hermeneutika bagi mereka yang memiliki dasar dan penguasaan terhadap masalah hukum. Sedangkan analisis hukum atau teks hukum tetap diambil dari kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam tradisi hukum islam[4].
Di kalangan umat islam, penafsiran terhadap kitab suci al-Qur’an telah berjalan sejak ayat al-Qur’an turun pada nabi Muhammad SAW , nabi sendiri telah menafsirkan beberapa ayat Al-Qur’an. Tafsir al-Qur’an yang langsung dilakukan oleh nabi adalah tafsir bil-manqul. Dalam perkembangan selanjutnya para ulama menyusun sebuah disiplin untuk penafsiran terhadap al-Qur’an, yakni ulum al-tafsir. Akan tetapi, menurut kami ulum al-tafsir tidak dapat diidentikkan dengan hermeneutika. Mungkin secara bahasa, ada kesamaan, artinya hermeneutika itu sebenarnya berarti penafsiran. Hanya sebatas makna lafdziyah ini dapat di terima. Akan tetapi jika yang dikehendaki dengan istilah penafsiran sebagai satu sistem metodologi penafsiran kitab suci, jelas tidak identik. Sebagai sebuah sistem ulum al-tafsir atau ulum al-Qur’an terdiri dari unit-unit bahasan yang mana satu dengan yang lain saling berhubungan.
Di antara unit-unit itu adalah :
Kaidah memahami Al-Qur’an, kaidah ini membahas sharaf dan nahwu.
Ayat muhkamat dan mutasyabihat.
Nasakh : nasih dan mansuh.
Bahasan mengenai manthuq dan mafhum.
Bahasan mengenai mafatih al-suwar.
Dan lain-lain.
Item-item di atas merupakan bagian yang menjadi bahasan dalam ulum al-tafsir atau ilmu untuk menafsirkan al-Qur’an. Dari tema-tema atau item-item bahasan tersebut menjelaskan kepada kita, bahwa, pertama, ulum al-tafsir memiliki otonom yang mandiri dan berbeda dari hemeneutika; kedua, sebagai suatu disiplin untuk menafsirkan kitab suci, ulum al-tafsir tidak terpengaruh hermeneutika, dalam sisi tata bahasa atau nahwu, secara umum, artinya tidak saja berlaku untuk menafasirkan al-Qur’an tetapi juga untuk teks yang berbahasa Arab, sastra arab mempunyai otonom sendiri.
Tidak hanya itu, aspek kontekstualisasi juga tidak lepas dari perhatian beberapa pengkaji Al-Qur’an periode klasik. Kajian terhadap konsep maslahah atau maqasid al-syar’iyah bisa dimasukkan dalam ranah ini. Maqasid al-syar’iyah dimaksudkan bahwa setiap hasil penafsiran atau produk ijtihad bener-benar mampu membawa kebaikan umat. Kitab-kitab ushul fiqh karya sarjana muslim klasik telah memberikan porsi yang cukup signifikan mengenai hal ini.
Meski secara terminilogis metode hermeneutika Al-Qur’an tergolong baru dalam khazanah tafsir, namun sampai saat ini ilmu yang dalam perkembangannya menjadi bagian dari kajian filsafat ini telah mengalami perkembangan signifikan ditangan para hermeneut muslim kontemporer. Berbagai metode telah tersajikan untuk menyempurnakan kerangka metodologis ilmu-ilmu al-Qur’an. Pengelompokan aliran-aliran hermeneutik dalam kesarjanaan muslim juga telah terpetakan. Dalam hal ini Sahiron Syamsuddin memetakan aliran hermeneutika al-Qur’an menjadi tiga kelompok:
Pandangan quasi-obyektivis tradisionalis, yakni suatu pandangan bahwa Al-Qur’an harus dipahami, ditafsirkan serta diaplikasikan pada masa kini, sebagaimana ia juga telah dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada situasi di mana Al-Qur’an diturunkan pada Nabi Muhammad.
Quasi-obyektivis modernis, aliran ini juga memandang penting terhadap original meaning (makna asal), namun bagi kelompok ini, makna asal tersebut hanya sebagai pijakan awal untuk melakukan pembacaan terhadap al-Qur’an dimasa kini. Makna asal literatur Al-Qur’an tidak lagi dipandang pesan utama Al-Qur’an.
Aliran subyektivis, yaitu aliran yang meyakini langkah penafsiran sepenuhnya merupakan subyektivitas penafsir. Karena itu setiap generasi berhak menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan[7].
Di kalangan umat islam tidak pernah ada usulan hermeneutika dimasukkan sebagai metode atau sains yang diperlukan bagi kegiatan penafsiran al-Qur’an[8]. Putusan yang bersifat mendeskriditkan hermeneutika ini di ambil karena dua kemungkinan. Petama , minimnya pengetahuan mengenai hermeneutika, atau pengetahuan yang sepotong-sepotong, parsial dan dan tidak konprehensif. Kedua, munculnya wacana pluralisme dan islam liberal yang sejak dini dianggap berkaitan dengan hermeneutika karena penafsirannya yang mengundang kontroversi[9].
Secara singkat dapat dikatakan bahwa pada awalnya hermeneutika digunakan untuk studi filologi, lalu untuk study teologi dan kemudian berkembang. Perkembangan dan perubahan hermeneutika ini masih berada dalam ruang epistemologi yang membicarakan tentang bagaimana pemahaman diperoleh manusia melalui hermeneutik sebagai metodologi penafsiran.
Perubahan wacana hermeneutik yang bersifat subyektif terjadi ketika diskusi hermeneutik berpindah dari ruang epistemologi ke ruang ontologi. Inilah yang dimaksud dengan perubahan. Adalah Heidegger (1889-1976) filsuf yang mengubah wacana diskusi hermeneutik dari ruang epistimologi ke ontologi.
Heidegger menegaskan, pemahaman dan penafsiran tidak perlu dibedakan, pemahaman bisa ada tanpa melalui penafsiran, bahkan dia menegaskan bahwa pemahaman yang diperoleh lewat aktifitas mnafsirkan pikiran orang lain merupakan yang tidak outentik.ini ungkapan yang yang bernuansa protes. Misalnya, seorang yang beragama islam paham bahwa dia sedang berjalan menuju masjid untuk menunaikan sholat, dia paham kalau sholat maghrib wajib. Setelah sholat dia paham bahwa dia membaca al-Qur’an dan dia paham bahwa dia juga paham makna ayat-ayat yang dia baca, atau sebaliknya, dia paham bahwa dia tidak paham makna yang dibaca. Meskipun demikian ia tetap berusaha menjelaskan kepada orang lain bahwa meskipun dirinya tidak memahami arti yang dibaca, tetapi membaca al-Qur’an merupakan salah satu cara menegaskan diri sebagai orang muslim.[10]
Perubahan ini lebih signifikan lagi jika kita menyimak semakin banyaknya persoalan sosial umat islam kontemporer yang tidak mampu dijelaskan oleh pembacaan –pembacaan konvensional terhadap al-Qur’an.[11] Perubahan paradigma dengan memperkenalkan metode baru banyak dirintis, antara lain, oleh Fazlur Rahman, mohammed Arkoun, Khalid Abou El-Fadl, Muhammad Abid Al-Jabiri, Ebrahim moosa, Nasr Hamid Abu Zayd, dan mumkin juga pemikir islam lainnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Melihat kenyataan diatas,kita bisa mengetahui tentang pembelajaran al-qur’an dengan detail, dan kita juga basa mengetahui tentang sastra, tafsir beserta metode, dan hermeneutik. Kita tahu, bahwa setiap metode mempunyai efektifitas masing-masing. Dan karena Al-Qur’an merupakan kitab untuk semua bangsa serta semua tingkatan, maka kajian terhadap Al-Qur’an perlu dilakukan dengan sangat hati-hati dan proporsional.
Al-Qur’an berfungsi sebagai sumber pengetahuan dan petunjuk. Agar fungsi ideal itu dapat teraplikasikan maka Al-Qur’an harus dipelajari dan diupayakan penafsirannya. Untuk kebutuhan penafsiran dimaksud diperlukan adanya kerangka dasar yang relevan yaitu sebuah metode. Jadi, keberadaan sebuah metode dalam penafsiran mutlak diperlukan.
Tafsir Al-Qur’an ditulis dengan metode dan pendekatan yang bervarian. Ini suatu bukti dari kesungguhan para ulama untuk terus berusaha memahami al-Qur’an dari berbagai aspek dan kemampuan yang dimiliki. Dan ini belum final, karena usaha untuk lebih menyempurnakan metode dan pendekatan tafsir terus dilakukan hingga sekarang, sehingga perlu disambut dengan cukup setiap upaya untuk terus meningkatkan pemahaman terhadap Al-Qur’an
Tidak bisa dipungkiri bahwa tiap-tiap metode yang digunakan mufassir masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu upaya untuk terus mencari alternatif metode tafsir dengan banyak belajar dari metode-metode dan pendekatan-pendekatan tafsir yang sudah ada dan merupakan warisan yang tak ternilai.
Untuk itu perlu dicari metode alternatif yang kiranya memiliki relevansi dengan zaman sekarang, dan menjadikannya menyentuh pada realitas kehidupan. Kita semua berkewajiban melihat Al-Qur’an dan salah satu bentuk pemeliharaannya adalah memfungsikan dalam kehidupan kontemporer, yakni dengan memberinya interpretasi yang sesuai tanpa mengorbankan teks sekaligus tanpa mengorbankan kepribadian, budaya bangsa dengan perkembangan positifnya
DAFTAR PUSTAKA
IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pengantar Studi Islam,Surabaya 2012.
IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Al-qur’an,Surabaya 2012.
http://asyroff.wordpress.com/al-quran/heurmenetika-al-quran/
Posting Komentar untuk "MODEL STUDY ALQUR’AN KONTEMPOER MAKALAH"