Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

 

Pendidikan Islam Indonesia 

Usia Pendidikan Islam di Indonesia telah berjalan selama dan seiring dengan umur kemerdekaan negara Indonesia, hal ini karena dalam fakta sejarah disebutkan bahwa ‘benihbenih’ dari pendidikan Islam adalah munculnya semangat untuk merdeka. Benih-benih nasionalisme muncul dari lembaga pendidikan Islam waktu itu, dari pesantren, surau dan masjid, sehingga sangat logis apabila kolonial sangat mengekang keberadaan lembaga Pendidikan Islam waktu itu.

Dalam  pemahaman yang sederhana, pendidikan Islam dapat dipahami sebagai berikut: 

Pertama, pendidikan menurut Islam, atau pendidikan Islami, adalah pendidikan yang dipahami dan dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya: al-Qur’an dan al-Hadits.  

Kedua, pendidikan (dalam masyarakat) Islam, adalah pendidikan atau praktek penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat Islam, dalam arti proses beertumbuhkembangnya Islam dan umatnya, baik Islam sebagai agama, ajaran, maupun sistem budaya dan peradaban sejak Zaman nabi Muhammad saw sampai sekarang. 

Ketiga, pendidikan ke-Islaman atau pendidikan agama Islam,yakni upaya mendidik agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya agar menjadi way of life.

  Pada pemahaman yang pertama, sejauh ini belum ada pemikir muslim yang secara gamblang, lengkap, dan menyeluruh mengemukakan konsepnya tentang itu, dan diterima oleh semua pihak. Gambaran yang cukup jelas mengenai hal itu mungkin baru diperoleh jika melakukan kajian-kajian terhadap eksperimen-eksperimen yang dilakukan baik oleh individu, komunitas ataupun organisasi-organisasi Islam. Tetapi jika itu dilakukan secara sepintas sudah tampak perbedaan antara satu dengan lainnya.

 Organisasi-organisai tertentu lebih menitik beratkan pada pola pesantren atau majlis ta’lim yang melulu mengajarkan pelajaran agama. Organisasi yang lain lebih suka mengembangkan keseimbangan antara pengetahuan umum dan agama dalam bentuk  madrasah atau mencampurkan ketiganya. Semuanya itu dibawah Kementerian Agama. Sementara itu, organisasi Islam lainnya ternyata lebih siap untuk menerapkan sistem sekolah, seperti yang diasuh oleh Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan dengan menambahkan ke dalamnya materi atau suasana agama dalam kadar yang cukup. Perbedaan seperti itu amat mungkin hanya karena perbedaan pengalaman dalam hal pengelolaan lembaga pendidikan, sebab teryata diantara semuanya memiliki kesamaaan-kesamaan pokok, yaiatu dikelola oleh orang Islam; murid-muridnya muslim; di dalamnya ada pelajaran keislaman; bahkan didalamnya ada suasana atau cepatnya simbol-simbol keislaman seperti busana muslim dan mushala misalnya. Sekalipun penggambaran yang demikian juga belum  dapat menjelaskan konsep yang utuh, tetapi dalam batas-batas tertentu bentuk-bentuk pendidikan Islam yang dianggap benar, atau setidaknya tepat. Para pemikir tengah memang biasanya tidak berani untuk mengatakan bentuk-bentuk pilihan diatas sebagai pendidikan Islam dengan kata sifat dan menganggapnya itu cukup, sebab baginya mustahil mencari pendidikan Islam yang ideal dan normatif. 

Manakala pemahaman diatas diikuti dan keputusan beberapa organisasi, komunitas dan individu muslim untuk mengelola sekolah dapat disetujui sebagai pendidikan Islam, maka niscaya beberapa sekolah seperti yang dikelola Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan sekarang – walaupun secara selektif dan dengan beberapa catatan- dapat dikategorikan sebagai institusi pendidikan Islam. Walaupun demikian, jika tidak salah belum ada organisasi Islam yang secara tegas mengeluarkan fatwa hukum, bahwa pergi ke sekolah itu telah memenuhi kewajiban mencari ilmu dan sama sahnya dengan pergi ke pesantren atau madrasah. Yang terjadi barulah bentuk ijma’ sukuti. Padahal dilapangan telah banyak umat Islam dengan tidak merasa “berdosa” memprioritaskan pendidikan putra-putrinya pergi ke sekolah atau apa yang kita kenal sebagai sekolah umum. Sebagai pengimbang, paling jauh mereka menambah kekurangannya dalam pengetahuan agama dengan mendatangkan guru ngaji privat atau mendampingkannya dengan dimasukkan ke dalam pesantren atau madrasah diniyah. 

Pada pemahaman yang kedua, dapat dilihat variasi dan perkembangan institusi pendidikan Islam yang dikelola oleh umat Islam atau bahkan negara. Disini kelihatan beberapa gejala: 

Organizing, yaitu usaha pengorganisasian pengelolaan lembaga-lembaga pendidikan  Islam hingga yang formal sifatnya, seperti majlis ta’lim dan pesantren. Dalam cakupan ini adalah melakukann stratifikasi dan standarisasi lembaga. 

Reformulating, yang tujuannya untuk menunjukan dinamika sekaligus inovasi menghadapi tuntutan zaman dan dalam rangka penyempurnaan konsep. Ini terlihat misalnya pada pesantren dan madrasah yang berinisiatif untuk menambah ilmu-ilmu umum dan keterampilan, bahkan hingga berakhir pada pembalikan porsi ilmu-ilmu umum yang lebih banyak dari ilmu agama. Dengan demikian juga sebaliknya terdapat sekolah-sekolah yang dicoba dimuati pendidikan agama yang lebih banyak dari lazimnya sekaligus dengan penciptaan suasana keislamannya bahkan dengan memasukkan asrama-elemen pesantrenke dalamnya. 

Formalizing, yaitu dengan menjadikan institusi pendidikannya menjadi  formal dari yang tadinya non-formal dalam arti mendapatkan pengakuan negara, dari tingkat diakui, disubsidi hingga di negerikan. Banyak sudah madrasah-madrasah yang kemudian dinegerikan, tetapi memang belum ada pesantren atau majlis ta’lim yang dinegerikan. 

Disamping itu, masa-masa terakhir ini selain terjadi peningkatan jumlah dan perluasan institusi-institusi pendidikan Islam, juga muncul lembaga-lembaga baru yang jumlahnya semakin tahun semakin banyak pula, seperti TPA, TKA dan Kelompok Kajian Islam untuk strata tertentu. Sedangkan pada pemahaman pendidikan Islam yang ketiga, yaitu pendidikan (agama Islam), maka akan terdapat perbedaan mengenai agama itu sendiri, apakah nilainya, ilmunya atau apapun namanya. 

Kalau saat ini terdapat keluhan tentang tercerabutnya nilai humanis dalam pengajaran agama, maka yang dimaksud pendidikan agama adalah pendidikan nilai-nilainya. Atau jika banyak masyarakat gelisah karena banyaknya anak didik yang tidak lagi menaruh hormat kepada guru an orang tuanya. Ini pun menunjukan bahwa tuntutatn pendidikan agama adalah tuntutan pendidikan nilai, bukan ilmunya. Namuan demikian, lembaga-lembaga pendidikan Islam kebanyakan menganggap pendidikan agama adalah pendidikan ilmu-ilmu agama dengan segala rinciannya. Madrasah-madrasah misalnya tetap mencari peluang untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama sekalipun tahu jumlah jam pelajaran yang tersedia lebih sedikit dibanding disiplin ilmu tersebut. Selain itu, ketika ada kesepakatan  akan pentingnya pengajaran nilai, terjadi perdebatan mengenai namanya, apakah akhlak atau budi pekerti. 

2. Politicing Pendidikan Islam Indonesia 

Politicing bermakna ‘mempolitikan’ pendidikan Islam di Indonesia, yang dipolitikan adalah pendidikan yang berbasis islam sebagai sandarannya. Terdapat beberapa diskursus penting yang jika diselesaikan atau diputuskan secara tegas barangkali akan mempengaruhi kejelasan baik konsep maupun wujud pendidikan Islam. Pertama, masalah pendidikan satu atap; Kedua, perubahan IAIN menjadi UIN. Keduanya bisa saja saling berhubungan hingga dapat diselesaikan secara tunggal. Akan tetapi, masalah yang pertama jelas lebih luas dari yang kedua. 

Masalah pendidikan satu atap sesungguhnya muncul pada awal-awal masa Orde Baru. Menurut ide ini, pendidikan yang dikelola oleh Departemen Agama dijadikan satu atap dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan kala itu (Mengapa tidak terbalik?).

 konsekuensinya dari ide ini adalah mengecilnya Departemen Agama yang dapat mendatangkan inspirasi untuk membubarkannya. Setelah mati sekian lama, akhir-akhir ini ide itu muncul kembali. Bila ditelusuri, ada sesuatu yang positif dari ide ini, yaitu tertanganinya pendidikan Islam dengan relatif profesional, bertambahnya dana yang diperoleh, meluaskan (secara psikologis) lapangan kerja lulusan pendidikan Islam. Memang perlu dikaji, bahwa secara teoritis dengan kondisi yang ada semacam sekarang, sesungguhnya telah dengan tidak sadar lembaga pendidikan Islam mencetak generasi (muslim) bangsa kelas dua atau tiga. Jutaan dari mereka selama bertahun-tahun dikorbankan atas nama idealisme dan politik. Lebih dari, implementasi dari gagsan ini sebetulnya juga kan merupakan perubahan yang amat mendasar dari konsep ataupun filosofi pendidikan Islam.

Adapun masalah perubahan dari IAIN menjadi UIN sesungguhnya bukan hanya persoalan perubahan nama. Secara mendasar ini akan mengubah konsep keilmuan Indonesia.                                             

Paling tidak, sejak itu secara sah dapat dilakukan eksperimen Islamisasi pengetahuan. Akan tetapi, secara normatif hal itu akan mempengaruhi struktur atau kemandirian Departemen Agama, karena kuasa atas ilmu-ilmu umum (yang hendak diislamisasi) kini berada di tangan Diknas, kecuali jika berani keluar dari kooptasi state sebagai pendidikan tinggi Islam yang memihak pada community.

 Karena itulah, barangkali untuk menghindarinya dimunculkan istilah widening mandat. Jika yang terakhir inipun dilakukan dengan tidak diimbangi pengalokasian dana yang memadai dan penanganannya yang sungguh-sungguh profesional, maka justru akan memberi gambaran buram terhadap pendidikan Islam. Inkonsistensi pengananan dua masalah ini dapat mengesankan politicing pendidikan Islam.

3. Analisis SWOT Historis Pendidikan Islam 

SWOT adalah singkatan dari Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats (Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman/Hambatan). Analisa SWOT sudah menjadi alat yang umum digunakan dalam perencanaan strategis pendidikan, namun ia tetap merupakan alat yang efektif dalam menempatkan potensi institusi.

 Dalam hal ini penulis akan lakukan analisa SWOT perspektif sejarah, dan sedikit dikaitkan dengan masa kini. Nilai manfaatnya adalah bahwa fakta sejarah dapat diketahui dan sebagai cermin bagi masa-masa yang akan datang.  Dari analisa diatas ditambah dengan uaraian pada bab-bab sebelumnya, dapat diketahui letak pendidikan Islam berada pada titik yang kurang menguntungkan. Antara alat mendidik, berjuang atau dilawan pemerintah kolonial. Sebuah situasi yang cukup susah bagi pendidikan yang ingin mengakomodir masyarakat mayoritas tapi ditentang oleh pemerintah. 

Dengan suasana yang demikian, maka posisi yang diambil oleh pendidikan Islam adalah tetap pada posisi semula yaitu sebagai lembaga mendidik dan mengkader generasi muslim. Namun perlu dicatat, bahwa peran strategis yang dibawa diemban oleh pendidikan Islam waktu itu adalah misi mengkoordinasi massa muslim, yang tujuannya adalah untuk menyatukan muslim menjadi satu kesatuan. 

4. Refleksi Pendidikan Islam Saat Ini 

Diatas telah dijelaskan tentang historisitas pendidikan masa lalu. Penulis menilai penting kiranya untuk merefleksikan fakta historis diatas dengan perkembangan pendidikan Islam dewasa ini. Tujuan merefleksikan adalah sebagai alat tolak ukur untuk memperbaiki kejadian-kejadian dan kebijakan-kebijakan masa lalu, sehingga hal tersebut dapat diantisipasi dan dikurangi pada masa-masa yang akan datang. Hal ini tentu saja memberikan nilai manfaat yang besar bagi pendidikan Islam, dikarenakan fakta sejarah dapat dipahami sebagai cerminan bagi masa yang akan datang. 

Salah satu sebab ketertinggalan pendidikan Islam dalam mendampingi laju modernitas adalah kurang cepatnya proses penyerapan terhadap ilmu pengetahuan umum. Hal ini tak lepas dari pengaruh dikotomik pendidikan yang diwariskan penjajah. Yang pasti, berbagai masalah yang terjadi di dunia pendidikan dewasa ini tak lepas dari warisan kolonialisme, yaitu antara lain dikotomisasi pendidikan, anggaran yang tidak proporsional, marjinalisasi pendidikan Islam, dan masih banyak. 

Untuk itu, perlu kiranya direkontrusksi sistem pendidikan nilai yang tidak mempertentangkan dikotomik yang tidak menguntungkan. Salah satu pendapat yang kiranya patut diperhatikan adalah pendapat dari mastuhu, bahwa pendidikan harus bersifat maju dan harus selalu bersifat merespon tanda perubahan. Secara garis besar dia menekankan pentingnya untuk mereformasi pendidikan Islam. Menurut Mastuhu, dengan analisa historis yang seperti diatas, sudah saatnya pendidikan Islam untuk mereformulasi diri, mengingat kemajuan jaman dan tantangan kemajuan. 

Pertama, Tinjauan Internal. Kebekuan dalam dunia pendidikan ini mulai timbul sejak tahun 1963, ketika kebebasan berpikir dalam lembaga sedikit demi sedikit digerogoti oleh birokrasi pendidikan yang pada waktu itu diawali berwatak politis. Sejak tahun 1978 muncul suasana yang sangat restriktif, yang pada dasarnya mengatakan bahwa yang boleh berpikir hanyalah birokrasi pendidikan saja. Birokrasilah yang menentukan segala-galanya dalam bidang pendidikan. 

Selama kebekuan tersebut belum dicairkan, selama itu pula sistem pendidikan tidak akan dapat melaksanakan tugas pendidikan secara benar. Selama itu pula tidak bias memperbaiki kesalahan fundamental yang terjadi disekolah-sekolah.Jadi jika ditinjau secara internal, reformasi pendidikan yang mendasar adalah reformasi yang mampu mengembalikan otonomi paedagogis kepada personalia sekolah. 

Kedua, tinjauan eksternal. Bagaimana membuat sistem pendidikan menjadi bagian integral dari reformasi politik, ekonomi, hukum serta reformasi lain yang diharapkan akan terjadi dalam masyarakat. Reformasi politik sebagai upaya untuk memulihkan dan mengembangkan demokrasi dalam masyarakat. Kalau sekolah berhasil menanamkan dalam diri para siswa kecintaan terhadap demokrasi, maka masyarakat akan semakin demokratis.

 Sebaliknya, kalau sekolah gagal menanamkannya, maka apa yang diperjuangkan selama ini tidak akan dapat terlaksana secara penuh. Hal penting yang perlu dilakukan sekarang adalah dengan memulai apa yang dapat dilakukan, yaitu mengubah kurikulum. Akan tetapi, mengubah guru agar dapat bersifat demokratis terhadap murid-muridnya tidak dapat dilakukan secara sekaligus, hal ini dapat terjadi atas kesadaran guru-guru. 

Pada prinsipnya yang harus terjadi disekolah, khususnya pendidikan Islam adalah adalah adanya kurikulum yang akan melahirkan berbagai macam kegiatan pendidikan untuk menuntun para siswa memahami dan menerima nilai-nilai demokratis. Hal ini meliputi antara lain:

 (1) kegiatan membentuk toleransi terhadap perbedaan pendapat, 

(2) latihanlatihan untuk mengembangkan kemampuan untuk menanyakan pendapat mereka secara jelas dan sopan, 

(3) latihan-latihan untuk membentuk kemampuan mengambil keputusan bersama mengenai masalah-masalah yang menyentuh kepentingan.

Posting Komentar untuk "PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA "