Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Makalah hakikat manusia, pengertian hakikat manusia dan aspek-aspek nya

 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang dibekali dengan akal dan pikiran. 

Manusia merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki derajat paling tinggi di antara ciptaannya yang lain. Hal yang paling penting dalam membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah bahwa manusia dilengkapi dengan akal, pikiran, perasaan, dan keyakinan untuk mempertinggi kualitas hidupnya di dunia.

Pendidikan adalah proses mengubah sikap dan perilaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan pelatihan. Jadi dalam hal ini pendidikan adalah proses atau perbuatan mendidik. Pendapat lain mengatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa kepada perkembangan anak

untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup cakap dalam melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang lain. Jadi karena manusia diciptakan oleh Tuhan dengan berbekal akal dan pikiran maka manusia membutuhkan pendidikan untuk mengembangkan kehidupannya demi memuaskan rasa keingintahuannya.

Makalah ini akan membantu kita untuk memahami berbagai pengertian dan aspek hakikat manusia dan berbagai aplikasi aspek hakikat manusia terhadap pendidikan. Materi dalam makalah ini dapat membantu Anda dalam mengembangkan wawasan kependidikan kita, yang kemudian dapat berfungsi sebagai asumsi dalam rangka praktik pendidikan maupun studi pendidikan selanjutnya.

B. Rumusan Masalah

2. Apa pengertian hakekat manusia

2. Apa saja yang meliputi aspek aspek manusia

3. Apa pentingnya pendidikan bagi manusia

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk memahami hakekat manusia

2. Untuk memahami aspek aspek manusia

3. Untuk memahami pentingnya pendidikan bagi manusia.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hakikat Manusia 

Manusia adalah makhluk bertanya, artinya selalu ingin tahu dan mempunyai hasrat untuk mengetahui segala sesuatu. Atas dorongan hasrat ingin tahunya, manusia tidak hanya bertanya tentang berbagai hal yang ada di luar dirinya, tetapi juga bertanya tentang dirinya sendiri. 

Dalam rentang ruang dan waktu, manusia telah dan selalu berupaya mengetahui dirinya sendiri. 

Hakikat manusia dipelajari melalui berbagai pendekatan (common sense, ilmiah, filosofis, religi) dan melalui berbagai sudut pandang (biologi, sosiologi, antropobiologi, psikologi, politik).

Dalam kehidupannya yang riil manusia menunjukkan keragaman dalam berbagai hal, baik tampilan fisiknya, strata sosialnya, kebiasaannya, bahkan sebagaimana dikemukakan di atas, pengetahuan tentang manusia pun bersifat ragam sesuai pendekatan dan sudut pandang dalam melakukan studinya.

Alasannya bukankah karena mereka semua adalah manusia maka harus diakui kesamaannya sebagai manusia? (M.I. Soelaiman, 1988). Berbagai kesamaan yang menjadi karakteristik esensial setiap manusia ini disebut pula sebagai hakikat manusia, sebab dengan karakteristik esensialnya itulah manusia mempunyai martabat khusus sebagai manusia yang berbeda dari yang lainnya.

Contoh: manusia adalah animal rasional, animal symbolicum, homo feber, homo

sapiens, homo sicius, dan sebagainya.

Mencari pengertian hakikat manusia merupakan tugas metafisika, lebih spesifik lagi adalah tugas antropologi (filsafat antropologi). Filsafat antropologi berupaya mengungkapkan konsep atau gagasan-gagasan yang sifatnya mendasar tentang manusia, berupaya menemukan karakteristik yang sifatnya mendasar tentang manusia, berupaya menemukan karakteristik yang secara prinsipil (bukan gradual) membedakan manusia dari makhluk lainnya. Antara lain

berkenaan dengan:

 (1) asal-usul keberadaan manusia, yang mempertanyakan

apakah ber-ada-nya manusia di dunia ini hanya kebetulan saja sebagai hasil evolusi atau hasil ciptaan Tuhan?

 (2) struktur metafisika manusia, apakah yang esensial dari manusia itu badannya atau jiwanya atau badan dan jiwa.

(3) berbagai karakteristik dan makna eksistensi manusia di dunia, antara lain berkenaan dengan individualitas, sosialitas.

Berdasarkan uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa pengertian hakikat manusia adalah seperangkat gagasan atau konsep yang mendasar tentang manusia dan makna eksistensi manusia di dunia. Pengertian hakikat manusia berkenaan dengan “prinsip adanya” (principe de’etre) manusia. Dengan kata lain, pengertian hakikat manusia adalah seperangkat gagasan tentang “sesuatu yang olehnya” manusia memiliki karakteristik khas yang memiliki sesuatu martabat khusus” (Louis Leahy, 1985). Aspek-aspek hakikat manusia, antaralain berkenaan dengan asal-usulnya (contoh: manusia sebagai makhluk Tuhan) struktur metafisikanya (contoh: manusia sebagai kesatuan badan-ruh), serta karakteristik dan makna eksistensi manusia di dunia (contoh: manusia sebagai makhluk individual, sebagai makhluk sosial, sebagai makhluk berbudaya, sebagai makhluk susila, dan sebagai makhluk beragama. 

B. ASPEK-ASPEK HAKIKAT MANUSIA

1. Manusia sebagai Makhluk Tuhan

Manusia adalah makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Tuhan YME. Kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas mereka sebagai khalifah di muka bumi ini. Kitabsuci menerangkan bahwa manusia berasal dari tanah dengan mempergunakan bermacam-macam istilah, seperti Turab, Thien, Shal-shal, dan Sualalah. Manusia adalah subjek yang memiliki kesadaran (consciousness) dan penyadaran diri (self-awarness). Oleh karena itu, manusia adalah subjek yang menyadari keberadaannya, ia mampu membedakan dirinya dengan segala sesuatu yang ada di luar dirinya (objek). Selain itu, manusia bukan saja mampuberpikir tentang diri dan alam sekitarnya, tetapi sekaligus sadar tentang pemikirannya. Namun, sekalipun manusia menyadari perbedaannya dengan alam bahwa dalam konteks keseluruhan alam semesta manusia merupakan bagian daripadanya. Oleh sebab itu, selain mempertanyakan asal usul alam semesta tempat ia berada, manusia pun mempertanyakan asal-usul keberadaan dirinya sendiri.

Terdapat dua pandangan filsafat yang berbeda tentang asal-usul alam semesta, yaitu (1) Evolusionisme dan (2) Kreasionisme. Menurut Evolusionisme, alam semesta menjadi ada bukan karena diciptakan oleh sang pencipta atau prima causa, melainkan ada dengan sendirinya, alam semesta berkembang dari alam itu sendiri sebagai hasil evolusi. Sebaliknya, Kreasionisme menyatakan bahwa adanya alam semesta adalah sebagai hasil ciptaan suatu Creative Cause

atau Personality yang kita sebut sebagai Tuhan YME (J. Donal Butler, 1968). Menurut Evolusionisme beradanya manusia di alam semesta adalah sebagai hasil evolusi. Hal ini, antara lain dianut oleh Herbert Spencer (S.E. Frost Jr., 1957) dan Konosuke Matsushita (1997). Sebaliknya, Kreasionisme menyatakan bahwa beradanya manusia di alam semesta sebagai makhluk (ciptaan) Tuhan. Filsuf yang berpandangan demikian, antara lain Thomas Aquinas (S.E. Frost Jr., 1957) dan Al-Ghazali (Ali Issa Othman, 1987).

Dari kedua pandangan di atas (Evolusionisme dan Kreasionisme) Kita memang tak dapat memungkiri tentang adanya proses evolusi di alam semesta termasuk pada diri manusia, namun atas dasar keyakinan agama tentu saja kita tak dapat menerima pandangan yang menyatakan beradanya manusia di alam semesta semata-mata sebagai hasil evolusi dari alam itu sendiri tanpa Pencipta. Di dalam metafisika khususnya dalam kosmologi, paham evolusionisme juga ditentang melalui apa yang dikenal sebagai argument kosmologi yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada harus mempunyai suatu sebab

 Adanya alam semesta termasuk di dalamnya manusia adalah sebagai akibat. Dalam pengalaman hidup kita menemukan adanya rangkaiansebab-akibat. Sebab pertama adalah sumber bagi sebab-sebab yang lain, tidak berada sebagai materi, melainkan sebagai "Pribadi" atau "Khalik". Argumen semacam ini antara lain dikemukakan oleh Muhammad Baqir Ash-Shadr (1991) dan Thomas Aquinas (Titus, et.al., 1959). Oleh karena manusia berkedudukan sebagai makhluk Tuhan YME maka dalam pengalaman hidupnya terlihat bahkan dapat kita alami sendiri adanya fenomena kemakhlukan (M.I. Soelaeman, 1988), antara lain berupa pengakuan atas kenyataan adanya perbedaan kodrat dan martabat manusia daripada Tuhannya. Manusia merasakan dirinya begitu kecil dan rendah di hadapan Tuhannya Yang Maha Besar dan Maha Tinggi. 

Manusia memiliki keterbatasan dan ketidakberdayaannya, manusia serba tidak tahu, sedangkan Tuhan serba Maha Tahu. Manusia bersifat fana, sedangkan Tuhan bersifat abadi, manusia merasakan kasih sayang Tuhannya, namun ia pun tahu begitu pedih siksa-Nya. Semua itu melahirkan rasa cemas dan takut pada diri manusia terhadap Tuhannya, tetapi di balik itu diiringi pula dengan rasa kagum, rasa hormat, dan rasa segan karena Tuhannya begitu luhur dan suci. Semua itu menggugah kesediaan manusia untuk bersujud dan berserah diri kepada penciptanya. Selain itu, menyadari akan maha kasih sayangnya Sang Pencipta maka kepada-Nya 

manusia berharap dan berdoa. Dengan demikian, di balik adanya rasa cemas dan takut itu muncul pula adanya harapan yang mengimplikasikan kesiapan untuk mengambil tindakan dalam hidupnya. Adapun hal tersebut dapat menimbulkan kejelasan akan tujuan hidupnya, menimbulkan sikap positif dan familiaritas akan masa depannya, menimbulkan rasa dekat dengan penciptanya.

2. Manusia sebagai Kesatuan Badan–Roh

Para filsuf berpendapat yang berkenaan dengan struktur metafisik manusia. Terdapat empat paham mengenai jawaban atas permasalahan tersebut, yaitu Materialisme, Idealisme, Dualisme, dan paham yang mengatakan bahwa manusia adalah kesatuan badan-roh, (Materialisme), Gagasan para penganut Materialisme, seperti Julien de La Mettrie dan Ludwig Feuerbach bertolak dari realita sebagaimana dapat diketahui melalui pengalaman diri atau observasi. Oleh karena itu, alam semesta atau realitas ini tiada lain adalah serba materi, serba zat, atau benda. Manusia merupakan bagian dari alam semesta sehingga manusia tidak berbeda dari alam itu sendiri. Sebagai bagian dari alam semesta, manusia tunduk pada hukum, hokum kualitas, hukum sebab-akibat atau stimulus-respon. Manusia dipandang sebagai hasil puncak mata rantai evolusi alam semesta sehingga mekanisme tingkah lakunya (stimulus-respon) semakin efektif. Yang esensial dari manusia adalah badannya, bukan jiwa atau rohnya. 

Manusia adalah apa yang nampak dalam wujudnya, terdiri atas zat (daging, tulang, dan urat syaraf. Segala hal yang bersifat kejiwaan, spiritual atau rohaniah pada manusia dipandang hanya sebagai resonansi saja dari berfungsinya badan atau organ tubuh. Pandangan hubungan antara badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai Epiphenomenalisme (J.D. Butler, 1968).

(Idealisme . Bertolak belakang dengan pandangan materialisme, penganut Idealisme menganggap bahwa esensi diri manusia adalah

jiwanya atau spiritnya atau rohaninya, hal ini sebagaimana dianut oleh Plato. Sekalipun Plato tidak begitu saja mengingkari aspek badan, namun menurut dia, jiwa mempunyai kedudukan lebih tinggi Plato daripada badan. Dalam hubungannya dengan badan, jiwa berperan sebagai pemimpin badan, jiwalah yang mempengaruhi badan karena itu badan mempunyai ketergantungan kepada jiwa. Jiwa adalah asas primer yang menggerakkan semua aktivitas manusia, badan tanpa jiwa tiada memiliki daya. Pandangan tentang hubungan badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai Spiritualisme (J.D.Butler, 1968).

(Dualisme). Dalam uraian terdahulu tampak adanya dua pandangan yang bertolak belakang. Pandangan pihak pertama bersifat monis–materialis, sedangkan pandangan pihak kedua bersifat monis– spiritualis. C.A. Van Peursen (1982) mengemukakan paham lain yang secara tegas bersifat dualistik, yakni pandangan dari Rene Descartes. Menurut Descartes, esensi diri manusia terdiri atas dua substansi, yaitu badan dan jiwa. Oleh karena manusia terdiri atas dua

substansi yang berbeda (badan dan jiwa) maka antara keduanya tidak terdapat hubungan saling mempengaruhi (S.E. Frost Jr., 1957), namun demikian setiapperistiwa kejiwaan selalu paralel dengan peristiwa badaniah atau sebaliknya. Contohnya, jika jiwa sedih maka secara paralel badanpun tampak murung atau menangis. Pandangan hubungan antara badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai Paralelisme (J.D. Butler, 1968). Sebagai kesatuan badani-rohani, manusia hidup dalam ruang dan waktu, sadar akan diri dan lingkungannya, mempunyai berbagai kebutuhan, insting, nafsu, serta mempunyai tujuan. Selain itu, manusia mempunyai potensi untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME dan potensi untuk berbuat baik, potensi untuk mampu berpikir (cipta), potensi berperasaan (rasa), potensi berkehendak (karsa), dan memiliki potensi untuk berkarya. Adapun dalam eksistensinya manusia memiliki aspek individualitas, sosialitas, moralitas, keberbudayaan, dan keberagaman. Implikasinya maka manusia itu berinteraksi atau berkomunikasi, memiliki historisitas, dan dinamika.

3. Manusia sebagai Makhluk Individu

Sebagaimana Anda alami bahwa manusia menyadari keberadaan dirinya sendiri. Kesadaran manusia akan dirinya sendiri merupakan perwujudan individualitas manusia. Manusia sebagai individu atau sebagai pribadi merupakan kenyataan yang paling riil dalam kesadaran manusia. Sebagai

individu, manusia adalah satu kesatuan yang tak dapat dibagi, memiliki perbedaan dengan manusia yang lainnya sehingga bersifat unik dan merupakan subjek yang otonom. Sebagai individu, manusia adalah kesatuan yang tak dapat dibagi antara aspek badani dan rohaninya. Setiap manusia mempunyai perbedaan sehingga bersifat unik. Perbedaan ini baik berkenaan dengan postur tubuhnya, kemampuan berpikirnya, minat dan bakatnya, dunianya, serta cita-citanya.

Seperti kita menemukan bayi kembar siam, Manusia kembar siam sekalipun, tak pernah memiliki kesamaan dalam keseluruhannya. Setiap manusia mempunyai dunianya sendiri, tujuan hidupnya sendiri. Masing-masing secara sadar berupaya menunjukkan eksistensinya, ingin menjadi dirinya sendiri atau bebas bercita-cita untuk menjadi seseorang tertentu, dan masing-masing mampu menyatakan "inilah aku" di tengah-tengah segala yang ada.

Setiap manusia mampu menempati posisi, berhadapan, menghadapi, memasuki, memikirkan, bebas mengambil sikap, dan bebas mengambil tindakan atas tanggung jawabnya sendiri (otonom). Oleh karena itu, manusia adalah subjek dan tidak boleh dipandang sebagai objek. Berkenaan dengan hal ini, Theo Huijbers menyatakan bahwa "manusia mempunyai

kesendirian yang ditunjukkan dengan kata pribadi" (Soerjanto P. dan K. Bertens, 1983);

adapun Iqbal menyatakannya dengan istilah individualitas atau khudi (K.G. Syaiyidain, 1954).

4. Manusia sebagai Makhluk Sosial

Dalam hidup bersama dengan sesamanya (bermasyarakat) setiap individu menempati kedudukan (status) tertentu. Di samping itu, setiap individu mempunyai dunia dan tujuan hidupnya masing-masing, mereka juga mempunyai dunia bersama dan tujuan hidup bersama dengan sesamanya. Selain adanya kesadaran diri, terdapat pula kesadaran sosial pada manusia. Melalui hidup dengan sesamanyalah manusia akan dapat mengukuhkan eksistensinya. Sehubungan dengan ini, Aristoteles menyebut manusia sebagai makhluk social atau makhluk bermasyarakat (Ernst Cassirer, 1987).

Terdapat hubungan pengaruh timbal balik antara individu dengan masyarakatnya. Ernst Cassirer menyatakan: manusia takkan menemukan diri, manusia takkan menyadari individualitasnya, kecuali melalui perantaraan pergaulan sosial. Adapun Theo Huijbers mengemukakan bahwa dunia hidupku dipengaruhi oleh orang lain sedemikian rupa sehingga demikian mendapat arti sebenarnya dari aku bersama orang lain itu (Soerjanto P. dan K. Bertens, 1983). Sebaliknya, terdapat pula pengaruh dari individu terhadap masyarakatnya.

Masyarakat terbentuk dari individu-individu, maju mundurnya suatu masyarakat

akan ditentukan oleh individu-individu yang membangunnya. Oleh karena setiap manusia adalah pribadi (individu) dan adanya hubungan pengaruh timbal balik antara individu dengan sesamanya maka idealnya situasi hubungan antara individu dengan sesamanya itu tidak merupakan hubungan antara subjek dengan objek, melainkan subjek dengan subjek. Martin Burber menyebut situasi hubungan yang terakhir itu sebagai hubungan I-Thou (Maurice S. Friedman, 1954). Berdasarkan hal itu dan karena terdapat hubungan timbal-balik antara individu dengan sesamanya dalam rangka mengukuhkan eksistensinya masingmasing maka hendaknya terdapat keseimbangan antara individualitas dan sosialitas pada setiap manusia.

5. Manusia sebagai Makhluk Berbudaya

Manusia memiliki inisiatif dan kreatif dalam menciptakan kebudayaan, hidup berbudaya, dan membudaya. Kebudayaan bertautan dengan kehidupan manusia sepenuhnya, kebudayaan menyangkut sesuatu yang nampak dalam bidang eksistensi setiap manusia. Manusia tidak terlepas dari kebudayaan, bahkan manusia itu baru menjadi manusia karena bersama kebudayaannya (C. A. Van Peursen, 1957). Sejalan dengan ini, Ernst Cassirer menegaskan bahwa "manusia tidak menjadi manusia karena sebuah faktor di dalam dirinya,

seperti misalnya naluri atau akal budi, melainkan fungsi kehidupannya, yaitu pekerjaannya, kebudayaannya.

 Demikianlah kebudayaan termasuk hakikat manusia" (C.A. Van Peursen, 1988).

Sebagaimana dinyatakan di atas, kebudayaan memiliki fungsi positif bagi kemungkinan eksistensi manusia, namun demikian apabila manusia kurang bijaksana dalam mengembangkannya, kebudayaanpun dapat menimbulkan kekuatan-kekuatan yang mengancam eksistensi manusia. Contoh: dalam perkembangan kebudayaan yang begitu cepat, sejak abad yang lalu kebudayaan disinyalir telah menimbulkan krisis antropologis. Martin Buber, antara lain mengemukakan keterhukuman manusia oleh karyanya sendiri. Manusia menciptakan mesin untuk melayani dirinya, tetapi akhirnya manusia menjadi pelayan mesin. Demikian pula dalam bidang ekonomi, semula manusia berproduksi untuk memenuhi kebutuhannya, tetapi akhirnya manusia tenggelam dan dikuasai produksi (Ronald Gregor Smith, 1959).

Kebudayaan tidak bersifat statis, melainkan dinamis. Kodrat dinamika pada diri manusia mengimplikasikan adanya perubahan dan pembaharuan kebudayaan. Hal ini tentu saja didukung pula oleh pengaruh kebudayaan masyarakat atau bangsa lain terhadap kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Selain itu, mengingat adanya dampak positif dan negatif dari

kebudayaan terhadap manusia, masyarakat kadang-kadang terombang-ambing di antara dua relasi kecenderungan. Di satu pihak ada yang mau melestarikan bentuk-bentuk lama (tradisi), sedangkan yang lain terdorong untuk menciptakan hal-hal baru (inovasi). Ada pergolakan yang tak kunjung reda antara tradisi dan inovasi. Hal ini meliputi semua kehidupan budaya (Ernst Cassirer, 1987).

6. Manusia sebagai Makhluk Susila

Menurut Immanuel Kant, manusia memiliki aspek kesusilaan karena pada manusia terdapat rasio praktis yang memberikan perintah mutlak (categorical imperative). Contoh: jika kita meminjam barang milik orang lain maka ada perintah yang mewajibkan untuk mengembalikan barang pinjaman tersebut. (S.E. Frost Jr., 1957; P.A. Van Der Weij, 1988). Sehubungan hal itu, dapatlah dipahami jika Henderson (1959) menyatakan: "Man is creature who makes moral distinctions. Only human beings question whether an act is morally right

or wrong".

Sebagai makhluk yang otonom atau memiliki kebebasan, manusia selalu dihadapkan pada suatu alternatif tindakan yang harus dipilihnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan Soren Aabye Kierkegaard: "Yes, I perceive perfectly that there are two possibilities, one can do either this or that" (Fuad Hasan, 1973). Adapun kebebasan berbuat ini juga selalu berhubungan dengan normanorma moral dan nilai-nilai moral yang juga harus dipilihnya. Oleh karena manusia mempunyai kebebasan memilih dan menentukan perbuatannya secara otonom maka selalu ada penilaian moral atau tuntutan pertanggung-jawaban atas perbuatannya.

7. Manusia sebagai Makhluk Beragama

Aspek keberagamaan merupakan salah satu karakteristik esensial eksistensi

manusia yang terungkap dalam bentuk pengakuan atau keyakinan akan kebenaran suatu agama yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku. Hal ini terdapat pada manusia manapun baik dalam rentang waktu (dulu-sekarang-akan datang) maupun dalam rentang geografis tempat manusia berada. Keberagamaan menyiratkan adanya pengakuan dan pelaksanaan yang sungguh atas suatu agama. Adapun yang dimaksud dengan agama ialah "satu sistem credo (tata keimanan atau keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia; satu sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya mutlak itu; dan satu sistem norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan alam lainnya yang sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan termaksud di atas (Endang Saifuddin Anshari, 1982). Seperti telah kita maklumi dari uraian terdahulu, manusia memiliki potensi

untuk mampu beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME. Di lain pihak, Tuhan pun telah menurunkan wahyu melalui utusan-utusanNya, dan telah menggelar tanda-tanda di alam semesta untuk dipikirkan oleh manusia agar manusia beriman dan bertakwa kepadaNya. Manusia hidup beragama karena agama menyangkut masalah-masalah yang bersifat mutlak maka pelaksanaan keberagamaan akan tampak dalam kehidupan sesuai agama yang dianut masingmasing individu. Hal ini baik berkenaan dengan sistem keyakinannya, system peribadatan maupun pelaksanaan tata kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan manusia serta hubungan manusia dengan alam.

Dalam keberagamaan ini manusia akan merasakan hidupnya menjadi bermakna. Tata cara hidup dalam berbagai aspek kehidupannya, jelas pula apa yang menjadi tujuan hidupnya sebagai berikut: 

a. Manusia adalah makhluk utama, yaitu diantara semua makhluk natural dan supranatural, manusia mempunyai jiwa bebas dan hakikat yang mulia.

b. Manusia adalah kemauan bebas. Inilah kekuatannya yang luar biasa dan tidak dapat dijelaskan: kemauan dalam arti bahwa kemanusiaan telah masuk ke dalam rantai kausalitas sebagai sumber utama yang bebas kepadanya dunia alam world of nature, sejarah, dan masyarakat sepenuhnya bergantung serta terus menerus.

c. Manusia adalah makhluk yang sadar. Ini adalah kualitasnya yang paling menonjol. Kesadaran dalam arti bahwa melalui daya refleksi yang menakjubkan, ia memahami aktualitas dunia eksternal, menyingkap rahasia yang tersembunyi dari pengamatan, dan mampu menganalisa masingmasing realita dan peristiwa.

d. Manusia adalah makhluk yang sadar diri. Ini berarti bahwa ia adalah satusatunya makhluk hidup yang mempunyai pengetahuan atas kehadirannya sendiri, ia mampu mempelajari, menganalisis, mengetahui, dan menilai dirinya.

e. Manusia adalah makhluk kreatif. Aspek kreatif tingkah lakunya ini memisahkan dirinya secara keseluruhan dari alam, dan menempatkannya di samping Tuhan. Hal ini menyebabkan manusia memiliki kekuatan ajaib semu quasi-miracolous yang memberinya kemampuan untuk melewati parameter alami dari eksistensi dirinya.

f. Manusia adalah makhluk idealis, pemuja yang ideal. Dengan ini berarti ia tidak pernah puas dengan apa yang ada, tetapi berjuang untuk mengubahnya menjadi apa yang seharusnya. Idealisme adalah faktor utama dalam pergerakan dan evolusi manusia. Idealisme tidak memberikan kesempatan untuk puas di dalam pagar-pagar kokoh realita yang ada. Kekuatan inilah yang selalu memaksa manusia untuk merenung, menemukan, menyelidiki, mewujudkan, membuat, dan mencipta dalam alam jasmaniah dan rohaniah.

g. Manusia adalah makhluk moral. Di sinilah timbul pertanyaan penting mengenai nilai. Nilai terdiri dari ikatan yang ada antara manusia dan setiap gejala, perilaku, perbuatan atau dimana suatu motif yang lebih tinggi daripada motif manfaat timbul. Ikatan ini mungkin dapat disebut ikatan suci karena ia dihormati dan dipuja begitu rupa sehingga orang merasa rela untuk membaktikan atau mengorbankan kehidupan mereka demi ikatan ini.

h. Manusia adalah makhluk utama dalam dunia alami, mempunyai esensi uniknya sendiri, dan sebagai suatu penciptaan atau sebagai suatu gejala yang bersifat istimewa dan mulia. Ia memiliki kemauan, ikut campur dalam alam yang independen, memiliki kekuatan untuk memilih dan mempunyai andil dalam menciptakan gaya hidup melawan kehidupan alami. Kekuatan ini memberinya suatu keterlibatan dan tanggung jawab yang tidak akan punya arti kalau tidak dinyatakan dengan mengacu pada sistem nilai.

C. ASAS-ASAS KEHARUSAN ATAU PERLUNYA PENDIDIKAN BAGI MANUSIA

1. Manusia sebagai Makhluk yang Belum Selesai

Manusia disebut “Homo Sapiens”, artinya makhluk yang mempunyai kemampuan untuk berilmu pengetahuan. Salah satu insting manusia adalah selalu cenderung ingin mengetahui segala sesuatu di sekelilingnya yang belum diketahuinya. Berawal dari rasa ingin tahu maka timbullah ilmu pengetahuan. Dalam hidupnya manusia digerakkan sebagian oleh kebutuhan untuk mencapai sesuatu, dan sebagian lagi oleh tanggung jawab sosial dalam masyarakat. Manusia bukan hanya mempunyai kemampuan-kemampuan, tetapi juga mempunyai keterbatasan-keterbatasan, dan juga tidak hanya mempunyai sifat-sifat yang baik, namun juga mempunyai sifat-sifat yang kurang baik. Manusia tidak mampu menciptakan dirinya sendiri, beradanya manusia di dunia bukan pula sebagai hasil evolusi tanpa Pencipta sebagaimana diyakini penganut Evolusionisme, melainkan sebagai ciptaan Tuhan. Mari kita bandingkan antara manusia dengan benda-benda. Sama halnya dengan manusia, benda-benda juga adalah ciptaan Tuhan. Namun demikian, benda-benda berbeda dengan manusia, antara lain dalam hal cara beradanya. Benda-benda hanya terletak begitu saja di dunia, tidak aktif mengadakan "dirinya", dan tidak memiliki hubungan dengan keberadaannya. Contohnya, sebatang kayu yang tergeletak diambil manusia, lalu dijadikan kursi. Kayu tentu tidak aktif mengadakan "diri"nya untuk menjadi kursi, melainkan dibuat menjadi kursi oleh manusia; dan kita tidak dapat mengatakan bahwa kursi bertanggung jawab atas fakta bahwa ia adalah kursi. Oleh sebab itu, dalam istilah Martin Heidegger benda-benda di sebut sebagai "yang berada", dan bahwa benda-benda itu hanya "vorhanden", artinya hanya terletak begitu saja di depan orang, tanpa ada hubungannya dengan orang itu, benda-benda baru berarti sebagai sesuatu, misalnya sebagai kursi jika dihubungkan dengan manusia yang membuatnya, yang memeliharanya atau menggunakannya. Sebaliknya manusia, ia bereksistensi di dunia. Artinya, manusia secara aktif "mengadakan" dirinya, tetapi bukan dalam arti menciptakan dirinya sebagaimana Tuhan menciptakan manusia, melainkan manusia harus bertanggung jawab atas keberadaan dirinya,

ia harus bertanggung jawab menjadi apa atau menjadi siapa nantinya. Bereksistensi berarti merencanakan, berbuat, dan menjadi sehingga setiap saat manusia dapat menjadi lebih atau kurang dari keadaannya. Dalam kalimat lain dapat dinyatakan bahwa manusia bersifat terbuka, manusia adalah makhluk yang belum selesai "mengadakan" dirinya. Sejalan dengan pernyataan terdahulu, telah dikemukakan dalam kegiatan belajar satu bahwa sebagai kesatuan badani-rohani manusia memiliki historisitas dan hidup bertujuan. Oleh karena itu, eksistensi manusia terpaut dengan masa lalunya (misal ia berada karena diciptakan Tuhan, lahir ke dunia dalam keadaan tidak berdaya sehingga memerlukan bantuan orang tuanya atau orang lain, dan seterusnya), serta sekaligus menjangkau masa depan untuk mencapai tujuan hidupnya. Manusia berada dalam perjalanan hidup, perkembangan, dan pengembangan diri. la adalah manusia, tetapi sekaligus "belum selesai" mewujudkan diri sebagai manusia.

2. Tugas dan Tujuan Manusia adalah Menjadi Manusia

Sejak kelahirannya manusia memang adalah manusia, tetapi ia tidak secara otomatis menjadi manusia dalam arti dapat memenuhi berbagai aspek hakikat manusia. Sebagai individu atau pribadi, manusia bersifat otonom, ia bebas menentukan pilihannya ingin menjadi apa atau menjadi siapa di masa depannya. Demikian halnya, benarkah bahwa mewujudkan berbagai aspek hakikat manusia (atau menjadi manusia) adalah tugas setiap orang? Jika setiap orang bebas menentukan pilihannya, bukankah berarti ia bebas pula menentukan untuk tidak menjadi manusia? Memang tiap orang bebas menentukan pilihannya untuk menjadi apa atau menjadi siapa nantinya di masa depan, tetapi sejalan dengan konsep yang telah diuraikan terdahulu bahwa bereksistensi berarti berupaya secara aktif dan secara bertanggung jawab untuk mengadakan diri sebagai manusia. Andaikan seseorang menentukan pilihan dan berupaya untuk tidak menjadi manusia atau tidak mewujudkan aspek-aspek hakikatnya sebagai manusia maka berarti yang bersangkutan menurunkan martabat kemanusiaannya. Dalam konteks inilah manusia menjadi kurang atau tidak manusiawi, kurang atau tidak bertanggung jawab atas keberadaan dirinya sebagai manusia. Ia menurunkan martabatnya dari tingkat human ke tingkat yang lebih rendah, mungkin ke tingkat hewan, tumbuhan, atau bahkan ke tingkat benda. Sebagai pribadi setiap orang memang otonom, ia bebas menentukan pilihannya, tetapi bahwa bebas itu selalu berarti terikat pada nilai-nilai tertentu yang menjadi pilihannya dan dengan kebebasannya itulah seseorang pribadi wajib bertanggung jawab serta akan dimintai pertanggungjawaban. Oleh sebab itu, tiada makna lain bahwa berada sebagai manusia adalah mengemban tugas dan mempunyai tujuan untuk menjadi manusia, atau bertugas mewujudkan

berbagai aspek hakikat manusia. Karl Jaspers menyatakannya dalam kalimat: "to be a man is to become a man", ada sebagai manusia adalah menjadi manusia (Fuad Hasan, 1973). Implikasinya jika seseorang tidak selalu berupaya untuk menjadi manusia maka ia tidaklah berada sebagai manusia. Berbagai aspek hakikat manusia pada dasarnya adalah potensi yang harus diwujudkan setiap orang. Oleh sebab itu, berbagai aspek hakikat manusia merupakan sosok manusia ideal, merupakan gambaran manusia yang dicitacitakan atau yang menjadi tujuan. Sosok manusia ideal tersebut belum terwujud melainkan harus diupayakan untuk diwujudkan.

3. Perkembangan Manusia Bersifat Terbuka

Manusia dilahirkan ke dunia dengan mengemban suatu keharusan untukmenjadi manusia, ia diciptakan dalam susunan yang terbaik, dan dibekali berbagai potensi untuk dapat menjadi manusia. Namun demikian, dalam kenyataan hidupnya, perkembangan manusia bersifat terbuka atau mengandung berbagai kemungkinan. Manusia berkembang sesuai kodrat dan martabat kemanusiaannya atau mampu menjadi manusia, sebaliknya mungkin pula ia berkembang ke arah yang kurang sesuai atau bahkan tidak sesuai dengan kodrat dan martabat kemanusiaannya.

Gehlen seorang pemikir Jerman mengemukakan hasil studi perbandingannya tentang perkembangan struktur dan fungsi tubuh manusia dengan binatang. la sampai pada kesimpulan yang sama dengan Teori Retardasi dari Bolk, yaitu bahwa pada saat kelahirannya taraf perkembangan manusia tidak lebih maju dari hewan, tetapi kurang maju daripada hewan yang paling dekat dengan dia (primat) sekalipun. Manusia lahir prematur dan tidak mengenal spesialisasi seperti hewan. "Ia adalah makhluk yang ditandai kekurangan" (C.A. Van Peursen, 1982). Contoh sebagai berikut: kerbau lahir sebagai anak kerbau, selanjutnya ia hidup sesuai kodrat dan martabat kekerbauannya (mengkerbau atau menjadi kerbau). Sebaliknya manusia, ia lahir sebagai anak manusia, tetapi dalam kelanjutan hidupnya memanusia atau menjadi manusia adalah suatu kemungkinan, mungkin ia memanusia, tetapi mungkin pula kurang atau bahkan tidak memanusia. Jika dibandingkan dengan hewan, manusia sepertinya dilahirkan terlalu dini. Sebelum ia disiapkan dengan spesialisasi tertentu dan sebelum ia mampu menolong dirinya sendiri, ia sudah dilahirkan. Akibatnya sebagi berikut :

1. Berbeda dengan hewan, kelanjutan hidup manusia menunjukkan keragaman. Ragam dalam hal kesehatannya, dalam dimensi kehidupan individualitasnya, sosialitasnya, keberbudayaannya, kesusilaannya, dan keberagamaannya.

2. Saat dilahirkannya, manusia belum mempunyai spesialisasi tertentu maka spesialisasinya itu harus diperoleh setelah ia lahir dalam perkembangan menuju kedewasaannya.

Anne Rollet mengemukakan bahwa sampai tahun 1976 para etnolog telah mencatat kirakira

60 anak-anak buas di seluruh dunia. Tidak diketahui bagaimana awalnya anak-anak

tersebut hidup dan dipelihara oleh binatang yang hidup bersama atau dipelihara oleh kijang,

kera, ada pula yang hidup dengan serigala. Anak-anak tersebut tidak berperilaku bagaimana layaknya manusia. Tidak berpakaian, agresif untuk menyerang dan menggigit, tidak dapat tertawa, ada yang tidak dapat berjalan tegak, tidak berbahasa sebagaimana manusia. (Intisari, No. 160 Tahun ke XIII, November 1976). Salah satu kasus serupa dikemukakan M.I. Soelaeman (1988), ia mengemukakan suatu peristiwa yang dikenal dengan peristiwa manusia serigala, 

Seorang pemburu menemukan di tengah-tengah hutan belantara dua orang anak sekitar enam dan tujuh tahun, ketika anak itu melihat pemburu, mereka lari di atas kaki dan tangannya sambil mengeluarkan suara seperti meraung-raung. Mereka masuk gua, mencari perlindungan pada seekor serigala. Tapi akhirnya kedua anak itu berhasil ditangkap dan kemudian dibawa ke kota dan dijadikan bahan studi para ahli. Setelah melalui kesukaran, kedua anak itu dapat dididik kembali seperti biasa.

Dari peristiwa di atas, kita dapat memahami bahwa kemampuan berjalan tegak di atas dua kaki, kemampuan berbicara, dan kemampuan berperilaku lainnya yang lazim dilakukan manusia yang berkebudayaan, tidak dibawa manusia sejak kelahirannya. Demikian halnya dengan kesadaran akan tujuan hidupnya, kemampuan untuk hidup sesuai individualitas, sosialitasnya, tidak dibawa manusia sejak kelahirannya, melainkan harus diperoleh manusia melalui belajar, melalui bantuan berupa pengajaran, bimbingan, latihan, dan kegiatan lainnya yang dapat dirangkumkan dalam istilah pendidikan. Jika sejak kelahirannya perkembangan dan pengembangan hidup manusia diserahkan kepada dirinya masing-masing tanpa dididik oleh orang lain, kemungkinannya ia hanya akan hidup berdasarkan dorongan instingnya saja.

Sampai di sini dapat dipahami bahwa manusia belum selesai menjadi manusia, ia dibebani keharusan untuk menjadi manusia, tetapi ia tidak dengan sendirinya menjadi manusia, adapun untuk menjadi manusia ia memerlukan pendidikan atau harus dididik. "Man can become man through education only", demikian pernyataan Immanuel Kant dalam teori pendidikannya (Henderson, 1959). Pernyataan tersebut sejalan dengan hasil studi M. J. Langeveld, bahkan

sehubungan dengan kodrat manusia, seperti dikemukakan Langeveld memberikan identitas kepada manusia dengan sebutan Animal Educandum (M.J. Langeveld, 1980).

B. ASAS-ASAS KEMUNGKINAN PENDIDIKAN

Manusia perlu dididik, implikasinya setiap orang harus melaksanakan pendidikan dan mendidik diri. Permasalahannya: apakah manusia mungkin atau dapat dididik? Hubungan antara manusia dengan pendidikan diawali dari pertanyaan: "Apakah manusia dapat dididik? Ataukah manusia dapat bertumbuh dan berkembang sendiri menjadi dewasa tanpa perlu dididik?". Kendati disadari pengetahuan itu penting masih sering juga muncul pertanyaan untuk apakah manusia memerlukannya? Bukankah tanpa pengetahuan manusia juga bisa hidup. Bagi manusia, kegiatan mengetahui merupakan kegiatan yang secara hakiki melekat pada cara beradanya sebagai manusia. Istilahnya dalam filsafat ilmu “knowing is a mode of being”. Secara

kodrati manusia memiliki hasrat untuk mengetahui. Ada yang hasratnya besar sehingga upaya pencarian pengetahuan sangat tinggi dan tidak kenal menyerah.

Akan tetapi, ada pula yang hasratnya rendah atau biasa-biasa saja sehingga tidak bermotivasi mencari pengetahuan. Namun demikian, dapat dikatakan bahwa semua manusia punya keinginan untuk tahu.

Dalam arti sempit pengetahuan hanya dimiliki makhluk yang bernama manusia. Memang ada yang berpendapat berdasarkan instingnya, binatang memiliki ‘pengetahuan’. Misalnya, setiap binatang tahu akan ada bahaya yang mengancam dirinya atau ada makanan yang bisa disantap. Seekor harimau tahu persis apa ada binatang di sekitarnya yang dapat dimangsa. Seekor tikus juga tahu bahwa di sekitarnya ada kucing yang siap menerkam dirinya sehingga berdasarkan instingnya dia segera mencari tempat yang aman. Manusia tidak dapat hidup berdasarkan instingnya saja, walau kadangkadang juga ada manusia yang memiliki insting yang kuat. Manusia memiliki pengetahuan yang didasarkan atas insting sangat terbatas. Oleh karena manusia merupakan satu-satunya makhluk ciptaan Allah yang diberi akal (kata “aql” tidak kurang dari lima puluh kali disebut dalam kitab suci al Qur’an) maka ia dapat memperoleh pengetahuan tentang segala hal. Hebatnya lagi, manusia tidak saja mampu memperoleh pengetahuan yang diperlukan dalam hidupnya, tetapi juga mengembangkannya menjadi beraneka ragam pengetahuan. Atas dasar studi fenomenologis yang dilakukannya, M.J. Langeveld (1980) menyatakan bahwa "manusia itu sebagai animal educandum, dan ia memang

adalah animal educabile". Jika kita mengacu kepada uraian terdahulu tentang sosok manusia dalam berbagai dimensinya, ada 5 asas antropologis yang mendasari kesimpulan bahwa manusia mungkin dididik atau dapat dididik, yaitu : (1) potensialitas, (2) dinamika, (3) individualitas, (4) sosialitas, dan (5) moralitas.

1. Asas Potensialitas

Dalam uraian terdahulu telah dikemukakan berbagai potensi yang ada pada manusia yang memungkinkan ia akan mampu menjadi manusia, tetapi untuk itu memerlukan suatu sebab, yaitu pendidikan. Contohnya, dalam aspek kesusilaan manusia diharapkan mampu berperilaku sesuai dengan norma-norma moral dan nilai-nilai moral yang diakui. Ini adalah salah satu tujuan pendidikan atau sosok manusia ideal berkenaan dengan dimensi moralitas. Apakah manusia dapat atau mungkin dididik untuk mencapai tujuan tersebut? Jawabannya adalah dapat atau mungkin sebab sebagaimana telah dikemukakan pada uraian terdahulu bahwa manusia memiliki potensi untuk berbuat baik. Demikian pula dengan potensipotensi

lainnya. Berdasarkan hal itu maka dapat disimpulkan bahwa manusia akan dapat dididik karena ia memiliki berbagai potensi untuk dapat menjadi manusia.

2. Asas Dinamika

Manusia selalu aktif baik dalam aspek fisiologik maupun spiritualnya. Ia selalu menginginkan dan mengejar segala hal yang lebih dari apa yang telah ada atau yang telah dicapainya. Ia berupaya untuk mengaktualisasikan diri agar menjadi manusia ideal baik dalam rangka interaksi atau komunikasinya secara horizontal (manusia-manusia) maupun vertikal atau transcendental (manusia-Tuhan).

Jika ditinjau dari sudut pendidik, pendidikan dilakukan dalam rangka membantu manusia (peserta didik) agar menjadi manusia ideal. Di pihak lain, manusia itu sendiri (peserta didik) memiliki dinamika untuk menjadi manusia ideal. Oleh karena itu, dimensi dinamika mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat dididik.

3. Asas Individualitas

Individu antara lain memiliki kedirisendirian (subjektivitas), ia berbeda dari yang lainnya dan memiliki keinginan untuk menjadi seseorang sesuai keinginan dirinya sendiri. Sekalipun ia bergaul dengan sesamanya, ia tetap adalah dirinya sendiri. Sebagai individu ia tidak pasif, melainkan bebas dan aktif berupaya untuk mewujudkan dirinya. Pendidikan dilaksanakan untuk membantu manusia dalam rangka mengaktualisasikan atau mewujudkan dirinya. Pendidikan bukan untuk membentuk manusia sebagaimana kehendak pendidik dengan mengabaikan dimensi individualitas manusia (peserta didik). Di pihak lain manusia sesuai dengan individualitasnya berupaya untuk mewujudkan dirinya. Oleh karena itu, individualitas manusia mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat didik.

4. Asas Sosialitas

Sebagai insan sosial manusia hidup bersama dengan sesamanya, ia butuh bergaul dengan orang lain. Dalam kehidupan bersama dengan sesamanya ini akan terjadi hubungan pengaruh timbal balik. Setiap individu akan menerima pengaruh dari individu yang lainnya. Kenyataan ini memberikan kemungkinan bagi manusia untuk dapat dididik sebab upaya bantuan atau pengaruh pendidikan itu disampaikan justru melalui interaksi atau komunikasi antarsesama manusia; dan bahwa manusia dapat menerima bantuan atau pengaruh pendidikan juga melalui interaksi atau komunikasi dengan sesamanya.

5. Asas Moralitas

Manusia memiliki kemampuan untuk membedakan yang baik dan tidak baik, dan pada dasarnya ia berpotensi untuk berperilaku baik atas dasar kebebasan dan tanggung jawabnya (aspek moralitas). Pendidikan hakikatnya bersifat normatif, artinya dilaksanakan berdasarkan sistem nilai dan norma tertentu serta diarahkan untuk mewujudkan manusia ideal, yaitu manusia yang diharapkan sesuai dengan sistem nilai dan norma tertentu yang bersumber dari agama maupun budaya yang diakui. Pendidikan bersifat normatif dan manusia memiliki dimensi moralitas karena itu aspek moralitas memungkinkan manusia untuk dapat didik. Atas dasar berbagai asas di atas, pendidikan mutlak harus dilaksanakan, Jika berbagai asumsi tersebut diingkari, kita harus sampai pada kesimpulan bahwa manusia tidak perlu didik, tidak akan dapat didik karena itu kita tak perlu melaksanakan pendidikan. Melalui kegiatan belajar-mengajar, para siswa akhirnya menguasai konsep tentang toleransi dan bersikap toleran terhadap orang lain yang berbeda. 

BAB III

PEMBAHASAN

PENDIDIKAN SEBAGAI HUMANISASI

Hakikat tugas dan tujuan hidup manusia tiada lain adalah menjadi manusia. Tugas dan tujuan hidup manusia adalah membangun atau "mengadakan" dirinya mendekati manusia ideal. Inilah yang dalam filsafat disebut self-realization (realisasi-diri).

Realisasi-diri erat hubungannya dengan pandangan tentang hakikat manusia, yang dapat kita pelajari dengan bersumber dari agama atau filsafat. Dengan bersumber dari filsafat, hendaknya kita maklumi bahwa "manusia menjadi manusia yang sebenarnya jika dapat merealisasikan hakikatnya secara total" (Henderson, 1959). 

manusia dapat menjadi manusia hanya melalui pendidikan. Implikasinya, dalam rangka mencari pengertian atau mendefinisikan tentang pendidikan, sewajarnya bertolak dari suatu pandangan tentang manusia dan diarahkan kepada wujud manusia ideal berdasarkan pandangan tentang manusia yang dijadikan asumsinya.

Sebagaimana telah dinyatakan di muka, manusia bertugas dan bertujuan untuk menjadi manusia, sedangkan manusia dapat menjadi manusia hanya melalui pendidikan. Dalam konteks ini maka pendidikan dapat didefinisikan sebagai humanisasi (upaya memanusiakan manusia), yaitu suatu upaya dalam rangka membantu manusia (peserta didik) agar mampu hidup sesuai dengan martabat kemanusiaannya. Selanjutnya, mengingat bahwa manusia menjadi manusia yang sebenarnya jika ia dapat merealisasikan hakikatnya secara total maka pengertian pendidikan sebagai upaya membantu manusia agar ia mampu hidup sesuai dengan martabat kemanusiaannya itu harus Anda hubungkan dengan makna berbagai aspek hakikat manusia.

Dapat kita rangkumkan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa; manusia adalah kesatuan badani-rohani yang

hidup dalam ruang dan waktu, sadar akan diri dan lingkungannya, mempunyai berbagai kebutuhan, insting, nafsu serta tujuan hidup; manusia memiliki berbagai potensi, yaitu potensi untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbuat baik, cipta, rasa, karsa, dan karya. Adapun dalam eksistensinya manusia memiliki aspek individualitas, sosialitas, kultural,

moralitas, dan religius. Harus Anda perhatikan sesungguhnya sosok manusia ini adalah sosok manusia ideal, sosok manusia yang dicita-citakan atau yang menjadi tujuan, sosok manusia yang belum terwujud melainkan yang harus diupayakan untuk diwujudkan. Dalam hal ini berarti manusia lahir dengan potensi, ia lahir belum terspesialisasi, seperti hewan atau binatang dan bahwa perkembangannya bersifat terbuka. Implikasi dari pandangan tentang berbagai aspek hakikat manusia tersebut, sebagai humanisasi atau sebagai upaya membantu manusia agar mampu hidup sesuai dengan martabat kemanusiaannya maka pendidikan sewajarnya diupayakan dengan tujuan untuk membantu mengembangkan berbagai potensi yang ada pada manusia. Contohnya adalah mengembangkan potensi untuk mampu beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, potensi untuk mampu berbuat atau berperilaku baik, potensi untuk mampu hidup sehat, potensi cipta, rasa, karsa, dan karyanya. Adapun semua potensi tersebut harus dikembangkan secara menyeluruh dan terpadu dalam konteks aspek keberagamaan, moralitas, individualitas, sosialitas, dan

keberbudayaan. Demi pencapaian tujuan ini, pendidikan tidak hanya berlangsung pada satu tahap perkembangan saja, melainkan harus dilaksanakan sepanjang hayat.

Pendidikan tidak cukup dilaksanakan di dalam salah satu lingkungan pendidikan saja, melainkan di berbagai lingkungan pendidikan. Selain itu, materi dan caracara (metode) pendidikannyapun perlu dipilih atas dasar asumsi tentang hakikat manusia dan tujuan pendidikan yang diturunkan kepadanya. Pendidikan adalah upaya menuntun anak sejak lahir untuk mencapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi alam beserta lingkungan sekitar tempat dia berada.

Dalam pendidikan terdapat tiga hal penting, yaitu aspek kognitif (berpikir), aspek gerak (psikomotorik), dan aspek afektif (merasa). Sebagai ilustrasi, saat kita mempelajari sesuatu maka di dalamnya tidak saja proses berpikir yang ambil bagian, tetapi juga ada unsur-unsur yang berkaitan dengan mengekspresikan rasa suka tersebut, perasaan seperti semangat, suka, dan lain lain. Pendidikan secara umum bertujuan membantu manusia menemukan akan hakikat kemanusiaannya. Maksudnya, pendidikan harus mampu mewujudkan manusia seutuhnya. Pendidikan berfungsi melakukan proses penyadaran terhadap manusia untuk mampu mengenal, mengerti, dan memahami realitas kehidupan yang ada di sekelilingnya. Dengan adanya pendidikan, diharapkan manusia mampu menyadari potensi yang ia miliki sebagi makhluk yang berpikir. Potensi yang dimaksud adalah potensi ruhaniyah (spiritual), nafsiyah

(jiwa), aqliyah (pikiran), dan jasmaniyah (tubuh). Dengan melakukan proses berpikir manusia akan menemukan eksistensi kehadirannya sebagai makhluk yang telah diberi akal oleh Tuhan Yang Maha Esa. Pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia baik dalam bentuk formal maupun informal. Pendidikan dalam bentuk formal adalah pengajaran, yakni proses transfer pengetahuan atau usaha mengembangkan dan mengeluarkan potensi intelektualitas dari dalam diri manusia. Intelektualitas dan pengetahuan itu pun belum sepenuhnya mewakili diri manusia. Oleh karena itu, pendidikan bukan hanya sekedar transfer of knowledge atau peralihan ilmu pengetahuan semata, akan tetapi dengan adanya pendidikan diharapkan peserta

didik mampu mengetahui dan memahami eksistensi dan potensi yang mereka miliki.

Di sinilah akhir dari tujuan pendidikan, yakni melakukan proses “humanisasi” (memanusiakan manusia) yang berujung pada proses pembebasan.

Hal ini berangkat dari asumsi bahwa manusia dalam sistem dan struktur social mengalami dehumanisasi karena eksploitasi kelas, dominasi gender, maupun hegemoni budaya lain. Oleh karena itu, pendidikan merupakan sarana untuk memproduksi kesadaran dalam mengembalikan kemanusiaan manusia, dan dalam kaitan ini, pendidikan berperan untuk membangkitkan kesadaran kritis sebagai prasyarat upaya untuk pembebasan. Jadi, yang dimaksud bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia adalah pendidikan mengantarkan peserta didik menuju kematangan dan kedewasaan rohani dan jasmani, sehingga peserta didik dapat menjadi manusia yang benar-benar sempurna (manusia seutuhnya) baik dari aspek kecerdasan, emosional, spiritual, sikap, dan sebagainya. Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa humanisasi pendidikan mempunyai arti yang cukup luas dan komprehensif meliputi berbagai pengertian pendidikan berdasarkan pendekatan monodisipliner. Sebagai humanisasi pendidikan, antara lain berarti sebagai upaya pengembangan potensi manusia (sudut pandang psikologi). Dalam pengertian ini, ada berbagai potensi yang harus dikembangkan, contohnya SQ (Spiritual Quotient atau Kecerdasan Spiritual) agar setiap tindakannya dilandasi keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. EQ (Emotional Quotient atau Kecerdasan Emosi) agar manusia mampu mengendalikan emosinya, memahami perasaan orang lain. IQ (Intelligence Quotient atau Kecerdasan Inteligensi) agar manusia memiliki kemampuan berhitung, kemampuan verbal, kemampuan membedakan, dan membuat prioritas. SocQ (Social Quotient atau Kecerdasan Sosial) agar manusia senang berkomunikasi, berteman, menolong, membuat orang lain bahagia, dan bekerja sama. Pendidikan juga berarti personalisasi atau individualisasi, yaitu agar manusia menjadi pribadi atau individu yang mantap. Contohnya, mampu hidup bebas dan bertanggung jawab, berperan sebagai subjek. Selain itu, sebagai humanisasi pendidikan juga berarti sosialisasi (sudut pandang sosiologi), sivilisasi (sudut pandang politik), enkulturasi (sudut pandang antropologi), pembinaan manusia beriman dan bertakwa (sudut pandang religi), serta pembinaan manusia bermoral (sudut pandang etika). Pendidikan meliputi berbagai aspek, yaitu berkenaan dengan aspek-aspek intelektual, sosial, emosional, dan spiritual atau berkenaan dengan nilai, pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Pendidikan juga meliputi berbagai kegiatan, contohnya pengajaran, bimbingan, latihan, dan berbagai kegiatan lainnya yang bersifat positif dalam rangka mengembangkan berbagai aspek hakikat manusia sehingga manusia mampu hidup sesuai martabat kemanusiaannya.

B. PENDIDIKAN DAN HAK ASASI MANUSIA

John Locke menyatakan bahwa hak adalah milik manusia karena usahanya, namun natura ini adalah natura sosial maka dengan apa yang saya anggap sebagai hak saya, saya juga diwajibkan mengakui adanya orang lain (Henderson, 1959). Adapun hak asasi adalah hak yang dasar atau pokok (KBBI, 1995). Hak asasi manusia merupakan hak-hak alamiah yang tidak dapat dicabut karena ini adalah karunia Tuhan. Hak-hak ini tidak hancur ketika masyarakat sipil dibangun baik pemerintah maupun masyarakat tidak dapat mencabutnya. Semua orang diciptakan sama, setiap orang dikaruniai Tuhan dengan hak-hak tertentu yang tidak dapat dicabut. Hak-hak tersebut, antara lain hak hidup, kebebasan, dan pengejaran kebahagiaan. Di samping itu, hak asasi meliputi kebebasan berbicara, kebebasan beragama, kebebasan berkumpul dan berserikat, perlindungan yang sama di depan hukum, dan hak atas proses sewajarnya serta pengadilan yang jujur. Sebagai prinsip, perlindungan hak-hak asasi manusia diterima secara luas, ini tertuang dalam konstitusi tertulis di seluruh dunia serta dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Akhir-akhir ini ada kecenderungan, terutama di kalangan organisasi internasional untuk memperluas daftar hak asasi manusia. Kelompok-kelompok ini, antara lain menyebut hak atas pendidikan. Kesempatan pendidikan yang memadai harus menjadi hak bawaan setiap anak (United States Information Agency, 1991). Pendidikan sebagai upaya agar manusia memperoleh hak-haknya yang asasi.

 Menurut sejarah, di negara-negara Eropa mula-mula muncul masalah mengenai hak-hak manusia yang telah diinjak-injak oleh pemerintahan monarki atau absolutisme sebab pada mulanya yang menjadi masalah pokok mengenai pendidikan ialah bagaimana individu itu memperoleh hak-haknya yang asasi. Oleh karena itu pula, tugas negara adalah menjamin berkembangnya hak-hak individu tersebut. Dengan diperolehnya kesempatan tersebut maka warga Negara itu mempunyai kesamaan yang aktual dan oleh sebab itu, dia dapat memberikan

kemampuannya kepada negara. Menurut Condorcet, inilah tujuan pokok pendidikan nasional, dan dilihat dari segi ini, pendidikan merupakan tugas pemerintah yang adil (H.A.R., Tilaar: 1995). Hak Asasi sebagai Dasar Demokrasi Pendidikan. Lahirnya republic modern pertama di dunia, yaitu Amerika Serikat pada tahun 1776, belum disertai dengan perubahan dalam bidang pendidikan. Tanpa pendidikan, kemerdekaan menjadi tidak mungkin. Gagasan equalitarianisme Jefferson yang mengagungkan konsep rakyat biasa (the common man) ini memang belum sepenuhnya diterima oleh kesadaran politik pada waktu itu. Perjuangan kemerdekaan Amerika meletakkan dasar-dasar pada kesamaan hak ekonomi dan politik manusia biasa.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, A.R.S. 1991. Educational Theory, A Quranic Outlook (Alih bahasa: Mutammam). Bandung: Diponegoro.

Anshari, E. S. 1983. Filsafat, Ilmu dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu.

AH, F. 1985. Realitas Manusia: Pandangan Sosiologis Ibnu Khaldun dalam

Insan Kamil (Penyunting: Dawam Rahardjo). Jakarta: Grafiti Pers.

Buber, M. 1959. Between Man and Man. (Translated by Ronald Gregor Smith).

Boston: Beacon Press.

Butler, J. D. 1957. Four Philosophies and Their Practice in Education and

Religion. New York: Harper & Brothers Publishers.

Cassirer, E. 1987. An Essay On Man. (Terj.: Alois A. Nugroho). Jakarta: Gramedia.

Friedman, S.M. 1954. Martin Buber, The. Life of Dialogue. London: Routledge and Began Paul Ltd.

Frost Jr., S.E. 1957. Basic Teaching of The Great Philosophers. New York:

Barnes & Nobles.

Hasan, F. 1973. Berkenalan dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya.

Henderson, S.v.P. 1959. Introduction to Philosophy of Education. Chicago: The

University of Chicago Press.

Huijbers, T. 1987. Manusia Merenungkan Dunianya. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.

Langeveld, M.J. 1980. Beknopte Theoritische Paedagogiek. (Terj.: Simajuntak).

Bandung: Jemmars.

Othman, A.I. 1987. The Concept of Man in Islam in The Writings of Al-Ohazali.

(Terj.: Johan Smit, Anas Mahyudin, Yusuf). Bandung: Pustaka.

 MKDK4001/MODUL 1 1.43

Phenix, P-H. 1964. Realism of Meaning: Philosophy of Curriculum for General

Education. New York: McGraw Hill Book Company.

Plato. 1986. Phaidon: Dialog Sokrates tentang Tubuh-Jiwa. Bandung: Sinar Baru.

Poespowardojo, S. dan Bertens, K. 1983. Sekitar Manusia: Bunga Rampai

tentang Filsafat Manusia. Jakarta: Gramedia.

Soelaeman, M.I. 1988. Suatu Telaah tentang Manusia-Religi Pendidikan.

Depdikbud.

Syaiyidain, K.G. 1954. Iqbal's Educational Philosophy. Lahore: Shaik

Muhammad Ashraf, Kasmiri Bazar.

Schumacher, E.F. 1980. A Guide for The Perflexed. London: Sphere Books Ltd.

Syaripudin, T. 1994. Implikasi Eksistensi Manusia terhadap Konsep Pendidikan

Umum (Thesis). Program Pascasarjana IKIP Bandung.

Titus, Harold, et.al. 1959. Living Issues in Philosophy. New York: American

Book Coy.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang R.I. No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Van Peursen, C.A. 1982. Tubuh-Jiwa-Roh. (Terj.: K. Bertens). Jakarta: BpK

Gunung Mulia.

Van der Weij, P.A. 1988. Filsuf-Filsuf Besar tentang Manusia. (Terj.: K. Bertens). Jakarta: Gramedia.

Yelon L.S. dan Weinstein, W.G. 1977. A Teacher's World Psychology the Classroom. Tokyo: McGraww-Hill International Book Company.

Posting Komentar untuk "Makalah hakikat manusia, pengertian hakikat manusia dan aspek-aspek nya"